Bagaimana Kita Menyikapi "Kristen Progresif"?
Para pembaca “berita GKMI” yang budiman, baru-baru ini jagat media sosial kita diramaikan dengan perbincangan tentang apa yang dinamakan sebagai “Kristen Progresif.” Pengusungnya, sebut saja namanya BS, seorang Pastor atau Pendeta, yang konon saat ini sudah mengundurkan diri dari jabatan Pendeta Sinode gerejanya. Sebagian netizen, terutama yang beragama Kristen, bereaksi keras. Komentar-komentar mereka berintikan penilaian bahwa Kristen Progresif adalah sesat, dan anjuran supaya BS segera bertobat.
Sebelumnya, kita perlu membedakan antara Kristen Progresif dengan Progressive Christianity. Kristen Progresif adalah nama yang diberikan oleh BS kepada cetusan-cetusan pikiran dan perasaannya tentang Kekristenan. Dalam sebuah podcast, BS dan Y—juga seorang Pastor—memaknai “progresif” sebagai keberanian untuk mempertanyakan apa yang dianggap sebagai kebenaran, berpikir out of the box, dan mengutamakan kemanusiaan.
Di sisi lain, Progressive Christianity adalah sebuah kelompok di Amerika Serikat yang ingin memberi ruang kepada orang-orang yang memandang diri mereka Kristen namun tidak mempercayai dogma-dogma tradisional, seperti yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Chalcedon, dan Pengakuan Iman Athanasius. Mereka berupaya mengaktualisasikan ajaran dan kehidupan Yesus untuk masa kini. Pemikiran-pemikiran teologis Progressive Christianity sudah matang, dan sudah ada dalam tahap gerakan. Tidak demikian halnya dengan Kristen Progresif-nya BS. Di samping itu, sejauh yang saya ketahui, tidak ada hubungan (langsung) antara BS dengan kelompok Progressive Christianity.
Awal mula munculnya gagasan Kristen Progresif
Sejauh kita menyimak podcast, shorts, dan TikTok-nya, kita dapat meraba bahwa dari cetusan-cetusan itu sebenarnya lahir sikap kritis dan niat baik. BS mengkritik kemunafikan yang dilihatnya dalam diri banyak orang Kristen. Ia merasa geram ketika menyadari bahwa Pendeta atau Gembala Jemaat memperlakukan kedua orang tuanya—yang terbilang kaya—tidak lebih dari sekadar mesin ATM. Ia mengkritik anggapan yang lazim di kalangan jemaat dan dinikmati oleh para Pendeta, yakni bahwa suara Pendeta adalah suara Kristus sendiri. Tanpa bermaksud menghakimi, mungkin kita dapat menduga latar belakang gerejawi BS.
Dalam beberapa kesempatan, BS menceritakan pengalamannya akan kasih sayang Tuhan Yesus. Saat berusia dua puluh tahunan, ia menikmati kesenangan-kesenangan yang berdosa: minum-minuman keras, clubbing, dan berkencan dengan banyak perempuan. Pada satu titik ia menyadari bahwa Tuhan Yesus menyayangi dirinya. Kesadaran itu membuatnya berupaya keras untuk meninggalkan kesenangan-kesenangan itu dan menyenangkan hati Tuhan. Saat menghadiri sebuah acara Hillsong di Australia, ia sangat terkesan melihat banyaknya kaum muda yang gondrong atau bertato hadir dan memuji Tuhan. Ini menyadarkannya bahwa Tuhan Yesus menyayangi semua orang tanpa melihat penampilan mereka. Timbullah kerinduan di hatinya untuk membawa berita kepada semua orang bahwa mereka disayangi Tuhan. Kerinduan itu juga mendorongnya untuk studi teologi di Australia hingga pasca-sarjana, pertama-tama berkenaan dengan pertumbuhan gereja, kemudian misi lintas budaya.
Menurut BS, semua orang adalah anak-anak Tuhan Yesus. Baik orang Kristen, orang beragama lain, bahkan orang tidak beragama sekalipun. Bedanya, orang Kristen telah menyadari hal itu, sementara yang lain tidak atau belum. Habib J, yang notabene seorang Muslim yang taat, menurut BS, adalah anak Tuhan Yesus juga. Tuhan Yesus menyayangi mereka semua, dan oleh karena itu memberi diri-Nya untuk mati di kayu salib guna menebus mereka semua. Karena itu, semua orang akan diselamatkan. Memang, kata BS, keselamatan hanya di dalam Kristus, bukan dalam Agama Kristen.
BS juga bersikap kritis terhadap Alkitab. Ia pernah mengatakan bahwa di dalam Alkitab terdapat kontradiksi. Misanya, perihal pernikahan. Dalam Kejadian 1-2, kata BS, Allah memerintahkan monogami dalam pernikahan, yakni pernikahan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tetapi beberapa tokoh Perjanjian Lama berpoligami. Raja Salomo misalnya, memiliki istri 700 orang dan selir 300 orang.
Sikap kritis terhadap Alkitab juga mendorong BS untuk menyatakan bahwa orang Kristen tidak wajib memberikan persembahan persepuluhan. Agaknya ia membedakan secara tajam antara persembahan dalam Perjanjian Lama dan persembahan dalam Perjanjian Baru. Perihal ini, dalam beberapa kesempatan BS menyatakan bahwa kita harus meletakkan kiprah Yesus dalam konteks zaman-Nya sebagai orang Yahudi. Penerimaan Yesus atas orang-orang yang dipandang hina dan berdosa oleh para pemuka agama Yahudi menggarisbawahi kebenaran bahwa Yesus menyayangi orang-orang macam itu.
Menarik dan penting, BS “masih” berpegang pada dua ajaran pokok yang menjadi ciri Keluarga Besar Kristen. Ia percaya kepada Allah Tritunggal: Bap, Anak, dan Roh Kudus. Ia juga percaya bahwa Yesus Kristus adalah satu Pribadi yang “100 persen Allah, 100 persen manusia.”
Lantas, bagaimana kita menyikapinya?
Sebagai gereja-gereja yang menghayati “mengenal Kristus berarti mengikut Dia setiap hari dalam kehidupan,” menurut saya kita perlu mengembangkan sikap sebagai berikut:
Pertama, mengakui cetusan-cetusan pemikiran BS masih ada dalam bingkai Keluarga Besar Kristen. Ingat, BS percaya kepada Allah Tritunggal dan Tuhan Yesus sebagai Pribadi dengan dua natur. Dengan demikian, BS adalah saudara seiman kita dalam Yesus Kristus.
Kedua, mengapresiasi niat baiknya untuk menyatakan kasih Kristus kepada semua orang.
Ketiga, menjadikan kritiknya terhadap praktik hidup menggereja yang diamatinya sebagai pelajaran bagi kita. Kendati sistem organisasi gereja kita berbeda dengan sistem organisasi gereja yang dikenal oleh BS, kita perlu menyadari bersama bahwa sistem organisasi gereja kita juga tidak imun/kebal terhadap abuse (kekerasan). Semua sistem organisasi gereja adalah bikinan manusia, meski didasarkan pada Alkitab. Kita harus memperkuat semangat saling percaya dan saling bertanggung jawab dalam hidup berkomunitas dan mengemudikan organisasi gereja kita.
Keempat, di sisi lain, kita juga perlu mengkritisi cetusan-cetusan pikiran dan perasaan BS. Misalnya, secara Alkitabiah tentu saja keliru mengatakan bahwa semua orang adalah anak-anak Tuhan Yesus. Kita mengamini penegasan Yohanes 1:12-13, bahwa kita diberi hak untuk menjadi anak-anak Allah (bukan anak-anak Tuhan Yesus!) melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Saat kita bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Allah menerima kita sebagai orang-orang benar, mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya, dan mengaruniakan Roh Kudus untuk mendiami tiap-tiap kita sebagai meterai atau tanda kepemilikan Kristus atas kita, jaminan keselamatan, dan kehadiran ilahi yang membentuk karakter Kristus di dalam diri kita.
Kita juga mengkritisi pernyataan BS bahwa semua orang diselamatkan dalam Kristus. Kita memahami keselamatan bukan semata “mati masuk surga dan terhindar dari api neraka.” Sesungguhnya, keselamatan lebih dari itu! Hakikat keselamatan adalah persatuan rohani dengan Kristus. Rasul Paulus menyebutnya “dalam Kristus” (en Christō). Di dalam Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan untuk menjadi anak-anak Allah yang kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef. 1:4-6). Di dalam Dia kita beroleh penebusan yang menjadi dasar pengampunan dosa kita (Ef. 1:7). Di dalam Dia kita dikaruniai Roh Kudus (Ef. 1:13-14). Dalam persatuan dengan Kristus, kita dihimpun oleh Roh Kudus ke dalam Gereja-Nya (Ef. 2:18), dibentuk-Nya menurut karakter Kristus (Ef. 4:24 & 30), dan diberdayakan-Nya untuk saling melayani dan bersaksi dalam kasih dengan karunia-karunia rohani (Ef. 4:7).
Itulah keselamatan yang kita nikmati semasa kita di dunia ini. Saat mati, kita akan bersama dengan Tuhan Yesus di sorga-Nya (1 Tes. 4:14; Flp. 1:23; bandingkan dengan Ef. 2:6). Saat parousia, atau kedatangan-Nya yang kedua kali, Kristus akan menegakkan Kerajaan-Nya, dan kita akan berpartisipasi di dalam kemuliaan-Nya dengan tubuh kebangkitan atau tubuh kemuliaan (1 Kor. 15:51-53) dan bersukacita dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal dan semua orang kudus-Nya di langit yang baru dan bumi yang baru (Why. 21:3-4).
Kelima, sangat baik bila kita menciptakan kesempatan untuk berdialog dengan BS. Dialog dengan dilandasi semangat persaudaraan dalam Kristus, kerendahan hati, kejujuran, mengatakan kebenaran dalam kasih, akan bermanfaat besar. BS masih muda. Cetusan-cetusan pikiran dan perasaannya belum merupakan rumusan-rumusan teologi yang matang. Ia kecewa sekaligus berniat baik, dan itu membuatnya gelisah. Sangat boleh jadi inilah juga yang terjadi di kalangan muda kita. Dalam hikmat dan kuasa Roh Kudus, kasih kita melalui hati yang terbuka dan tangan yang terulur akan menolong banyak orang muda yang gelisah, termasuk BS.
Terpujilah Allah!