Belajar dari Roh: Menjadi Visi Kristus
Evening Worship di malam kedua Global Youth Summit (GYS) 2022 masih tak kalah serunya dengan malam sebelumnya. Meskipun protokol kesehatan semakin diperketat dengan tidak diperbolehkan siapa pun untuk maju ke depan dan memuji Tuhan di depan panggung main hall STT Sangkakala. Kali ini, Andrew Suderman mengajak para peserta dan delegasi GYS untuk mendalami betapa pentingnya belajar untuk selalu hidup di dalam Roh.
Andrew membuka khotbahnya dengan menceritakan latar belakang dirinya, seorang yang hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Ia lahir di Kanada tetapi 10 tahun hidupnya dihabiskan di Amerika Latin, 7 tahun di Afrika Selatan, dan 5 tahun terakhir di Amerika Serikat. Tak hanya sendirian, ia juga memboyong istri dan ketiga anaknya untuk “berpetualang” menetap di berbagai daerah beserta budayanya yang melekat. Ketika baru satu bulan dirinya tinggal di Amerika Serikat, anaknya yang berusia 6 tahun mengatakan sesuatu yang mengejutkannya.
Hal itu terjadi ketika mereka tengah makan malam bersama. Setelah berdoa, tiba-tiba si anak menyatakan sumpah setianya kepada negaranya (Amerika Serikat). Sebagai seorang ayah dan teolog Anabaptis, tentu dirinya tak habis pikir bagaimana seorang anak kecil bisa diajarkan cara bersumpah bagi negara di sekolahnya. Andrew memiliki asumsi bagaimana negara atau pemerintahan itu digambarkan seperti Tuhan. Bahwa nasionalisme itu seperti sumpah yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini tentu bertentangan dengan Firman Tuhan!
Tak hanya itu, asisten profesor bidang Teologi, Perdamaian, dan Misi di Eastern Mennonite University ini juga menyatakan keprihatinannya pada kondisi negara adidaya itu. Ada banyak kasus penembakan liar di sekolah-sekolah. Korbannya tidak hanya anak-anak, juga para guru dan orang tua. Tetapi apa yang negara lakukan? Mereka malah mengajarkan anak-anak bagaimana cara berlindung dan bertahan. Bahkan kasus penembakan di Texas kemarin, seorang anak bisa selamat lantaran dirinya “menggunakan trik” melumuri tubuhnya dengan darah temannya yang terluka sehingga si penembak mengira bahwa anak itu sudah ia lukai dan melewatinya. Negara juga bukannya mengurangi jumlah peredaran senjata api, malahan membekali guru untuk siap sedia menggunakan senjata api mereka. Sistem ekonomi? Berputar di area senjata api dan militer.
“Violence begets violence,” kata Andrew, mengutip dari perkataan Martin Luther King yang berarti kekerasan akan melahirkan kekerasan. Bagaimana dunia ini sudah tergantung dengan kekerasan. Di mana solusinya adalah kita harus bersiap untuk menghadapi kekerasan itu. Tak hanya pengalaman Andrew saja, tetapi kita yang hidup di Indonesia pun juga bisa relate akan tragedi-tragedi kekerasan yang melanda negeri ini. Efesus 1:10 menyatakan bahwa kita masih punya harapan jika segala sesuatu bisa kita satukan. Sedangkan Efesus 2:14 berkata, “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan.”
Dalam hal ini, sudah seharusnya gereja menjadi contoh bahwa tubuh dengan dasar damai, kasih, harapan, keadilan, dan rekonsiliasi adalah jawabannya. Bukannya supremasi tentang kekerasan dan ketakutan. Ini merupakan visi dan harapan bagi Andrew, bagi kita semua. Visi dan harapan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan kita. Bahwa kita adalah visi Kristus bagi dunia yang penuh dengan kekerasan.