Berita GKMI

Benarkah Jika Bullying Sama dengan Bercanda?

| Minggu, 17 September 2023

Menurut data riset yang pernah dirilis oleh Programme for International Students Assessment (PISA) pada 2018, ada 41,1% pelajar Indonesia berusia 15 tahun yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) (bbc.com, 2022). Di tahun yang sama, Indonesia menempati posisi kelima dari 78 negara dengan kasus perundungan tertinggi di lingkungan sekolah (mediaindonesia.com, 2023). Lebih detailnya lagi, pelajar laki-laki yang memiliki prestasi rendah cenderung menjadi sasaran perundungan itu (kumparan.com, 2023). 

Mungkin kita akan berpikir jika data 5 tahun silam itu sudah tidak relevan lagi dijadikan acuan dalam melihat fenomena perundungan di negara ini, tapi nyatanya tidak demikian. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa di tahun 2022 setidaknya ada 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk perundungan, di lingkungan sekolah dan 18 di dunia maya (bbc.com, 2022). Berkaca dari data-data tersebut, bGKMI mengadakan survei singkat nan sederhana yang disebarkan ke jemaat-jemaat muda (youth) GGKMI dan berhasil menghimpun sebanyak 22 responden. Dari total jumlah responden tersebut, 16 di antaranya mengaku pernah mengalami perundungan dan 6 lainnya tidak pernah.

Sebelum lebih lanjut membahas data yang kami peroleh, ada baiknya jika kita bersatu paham terlebih dahulu mengenai arti dari perundungan itu. Bullying atau perundungan adalah segala bentuk perilaku/tindakan penindasan atau kekerasan secara verbal/fisik/psikologis yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, baik itu di dunia nyata maupun maya. Dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, tertekan, terintimidasi, maupun terluka secara fisik.


Hasil survei youth GGKMI tentang bullying

Mayoritas responden youth menjawab bahwa mereka mengalami perundungan di sekolah (82,4%) dan lingkup pertemanan (47,1%). Lebih dijabarkan lagi, rata-rata mereka mengalami kejadian tidak mengenakkan tersebut pada masa SMP (64,7%), diikuti SD (41,2%), dan SMA/K (35,3%). Bagi bGKMI, data ini sudah cukup menunjukkan bahwa sekolah dan lingkup pertemanan di sekolah adalah tempat yang paling rawan bagi seseorang untuk mengalami perundungan. Sisanya, ada yang mengalami perundungan di lingkup keluarga (rumah) sebanyak 3 responden, lingkungan tempat tinggal sebanyak 2 responden, diikuti dengan lingkup kampus, kantor, dan di media sosial yang masing-masing 1 responden.

Tidak hanya menghimpun data bagi para korban perundungan, bGKMI juga memberi kesempatan bagi para pelaku perundungan untuk mengakui perbuatan mereka. Hasilnya, ada 8 responden yang menjawab pernah melakukan perundungan dan mayoritas mereka melakukan tindakan itu kepada teman di lingkup pertemanan (60%), diikuti di lingkup sekolah (30%), dan di lingkungan tempat tinggal (20%). Uniknya, kedelapan responden ini juga mengaku pernah mengalami perundungan. Mari kita bahas lebih lanjut tentang jawaban mereka.


Bullying sebagai bentuk balas dendam?

Meskipun seorang responden mengaku pernah dirundung dan melakukan perundungan, tetapi sebetulnya ia sangat menentang tindakan ini karena bisa membuat korban mempunyai akar kepahitan dan dampak negatif dalam dirinya, jika belum dapat berdamai dengan diri sendiri maupun para pelaku. Ada pula responden yang merasa tidak nyaman meskipun biasanya tindakan ini dianggap sebagai candaan di lingkup pertemanan, tetapi ketika merasa tersakiti mereka lebih memilih untuk berpura-pura kuat dan ikut tertawa saja. Lain halnya jika ditujukan ke orang yang belum kenal dekat atau orang asing, sebisa mungkin hal ini dihindari. Tetapi ada juga responden yang menanggapi perundungan dengan santai karena baginya tindakan ini hanyalah sebatas guyon (bercandaan).

Ada sebuah jawaban dari salah seorang responden yang bisa bGKMI petik untuk menjelaskan garis besar kedelapan kasus ini, “Sebagai korban, ada kemungkinan kita menjadi pelaku juga karena ingin balas dendam. Kita ingin melampiaskan perasaan itu kepada orang lain yang dianggap lebih lemah dari posisi kita saat itu.” Seperti cerita seorang responden lain yang melakukan perundungan karena merasa kesal lantaran sering dimanfaatkan oleh orang lain.

Tidak hanya dari sisi korban maupun pelaku saja, dalam kasus perundungan ada juga yang namanya bystander alias pihak yang hanya diam mengamati terjadinya tindakan ini. Dari keseluruhan responden, 17 di antaranya pernah menyaksikan aksi perundungan dan 5 lainnya tidak pernah. Tempat kejadiannya pun masih tidak berbeda dengan data sebelumnya, yaitu di sekolah (68,4%), lingkup pertemanan (57,9%), dan media sosial (52,6%). Sisanya ada di kampus (21,1%), tempat kerja dan gereja (10,5%), dan yang terakhir adalah di rumah (5,3%).

Total ada 19 responden yang memberi jawaban bahwa perundungan adalah tindakan yang tidak mereka benarkan. Alasannya pun beragam, seperti berakibat buruk pada mental dan emosional seseorang sehingga bisa merasa terintimidasi, menyebabkan trauma, depresi, bahkan bunuh diri; merusak kepercayaan diri dan menginjak-injak harga diri, membuat orang itu menjadi lemah dalam berpendapat dan berpikir; menciptakan akar kepahitan yang berdampak negatif jika belum bisa berdamai dengan diri sendiri maupun memaafkan pelaku; dan karena tindakan perundungan tidak dapat dibenarkan dari segi apapun.

Pada kesempatan ini pun bGKMI memberi ruang pada responden untuk mengungkapkan perasaan mereka tentang perundungan yang pernah mereka alami. Dengan harapan agar beban itu bisa tersalurkan dan kita semua menjadi lebih aware tentang buruknya dampak dari perundungan itu.

“Saya berasal dari desa dan memiliki beberapa bekas luka di tubuh, serta warna kulit yang gelap. Kondisi ini dijadikan bahan oleh beberapa teman semasa SMP untuk mengejek saya (walaupun kami masih tinggal di satu desa). Sampai sekarang pun saya masih kurang percaya diri dengan kondisi saya dan terus berusaha untuk menutupinya.”

“Dulu saya sering dibully karena kondisi fisik saya yang gemuk dan bulu kaki yang lebih panjang dari teman-teman lainnya, apalagi saya perempuan, sehingga sering diejek seperti hewan. Kadang mereka menyebut saya seperti monyet atau beruang. Selain itu, karena dalam beberapa hal saya sering berprestasi, orang-orang menganggap saya berbeda dengan mereka dan mereka mencari-cari kesalahan pada diri saya. Sering sekali saya diejek di luar kelas karena dianggap sok-sok-an sering aktif dalam berbagai hal. Hal itu yang membuat saya sempat sulit untuk membaur dan beradaptasi dengan lingkungan baru, karena saya takut di-judge orang lain.”

“Waktu sekolah, mungkin karena di sekolah negeri jadi bully-nya masih ke arah ras dan agama, yah namanya juga minoritas. Karena waktu itu masih kecil, ya sedih aja, sih. Tapi sekarang, kalau masih ada yang bahas soal ras dan agama, sudah biasa saja, karena sudah menerima diri sendiri dan juga itu fakta yang ga bisa dihindari. Jadi ya kembali ke respons kita masing-masing soal menanggapi pendapat orang, karena kita ga bisa kontrol perlakuan orang lain terhadap diri kita. Kita hanya bisa mengontrol respons diri kita terhadap perlakuan yang menyakiti hati itu.”

“Di-bully itu tidak enak, apalagi kalau tidak punya tempat untuk mengeluarkan apa yang dirasakan ketika mengalami bullying. Waktu SD saya mengalami hal itu, di mana saya adalah anak yang sangat pendiam, pemalu dan penakut, selalu memendam semuanya sendirian. Bukan berarti keluarga dan orang-orang di sekitar tidak mau mendengarkan saya, tetapi saya orangnya sangat tertutup dan tidak mampu menjelaskan apa yang saya rasakan. Itulah kelemahan yang membuat saya semakin di-bully. Hal itu juga membuat saya terkadang menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa terbuka dan menjelaskan perasaan yang saya rasa. Semenjak saat itu, saya berusaha untuk membuka diri dan terus memberikan telinga untuk orang-orang yang sedang tidak baik-baik saja, karena saya tahu kalau memendam sendiri itu tidak enak banget!

“Saya pernah di-bully tentang fisik saya oleh teman sekelas saat duduk di bangku SMP. Teman saya melakukan bullying secara verbal kepada saya saat di dalam kelas. Tidak ada konteks apapun sebelumnya, memang teman saya ini tipe orang yang usil dan sering mengganggu saya. Saya tidak pernah bersinggungan dengan dia atau melakukan tindakan yang merugikannya. Hari demi hari saya dibully secara verbal dan disepelekan oleh teman saya ini, dan hal tersebut terus memengaruhi pikiran saya. Membuat saya merasa minder dan takut berteman dengan orang lain. Tapi saya bersyukur masih ada teman-teman yang mau membela dan berani speak up untuk saya. Dari situ, saya dikuatkan dan memiliki kepercayaan diri lagi. Sehingga ketika saya sampai menangis ketika di-bully oleh teman itu, saat itulah saya mencoba berani untuk melawan dengan berargumen dengannya. Walaupun saat itu saya terlalu emosi hingga mendorongnya (tidak sampai terjatuh) untuk mempertahankan diri, dan saya tidak membenarkan tindakan itu. Namun bersyukur, dari kejadian itu saya sudah tidak pernah di-bully olehnya lagi. Hingga saat itu, saya menjadi lebih aware untuk melawan tindak bullying, baik saat saya menjadi korban maupun saat saya melihat adanya tindakan bullying. Saya paham bahwa kejadian yang saya alami belum sampai di tahap yang ekstrim. Tetapi saya merasa bahwa tindakan bullying sekecil apapun akan memberi dampak negatif bagi korban dan bagi pelaku. Saya berharap ke depannya akan lebih banyak teman-teman yang berani speak up againts bullying, and let God do the rest. God bless you.