Bullying: A Biblical & Mennonite Perspective
Istilah ‘bullying’ tentu tidak asing di telinga kita saat ini. Kalau kita cari di Google, kita akan menemukan bahwa bullying berarti “segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus”.
Ternyata, bullying tidak hanya dekat dengan telinga kita saat ini, tapi juga sangat dekat dengan gereja mula-mula dan tradisi Anabaptis-Mennonite. Gereja mula-mula mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dari masyarakat di sekitarnya, terutama orang-orang Yahudi garis keras dan otoritas pemerintahan Romawi pada saat itu. Dalam Kisah Rasul 8:1-3, kita dapat melihat bahwa potret paling awal gereja diwarnai dengan kematian dan penganiayaan anggotanya.
Kaum Anabaptis-Mennonite juga mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dari kaum reformasi arus utama. Dirk Willems, seorang tokoh Anabaptis abad 16 dari Belanda terkenal karena kisah dirinya yang dipenjara karena imannya. Suatu hari, dia berhasil melarikan diri dari penjara dan menyeberangi sebuah danau yang membeku. Orang yang mengejarnya juga ikut menyeberangi danau tersebut tetapi terperosok ke dalam danau karena es yang dilaluinya terlalu tipis. Willems memutuskan untuk kembali dan menyelamatkan orang tersebut. Setelah menolong, dirinya kembali ditangkap dan dibakar hidup-hidup pada tahun 1569. Baik gereja mula-mula dan tradisi Anabaptis-Mennonite nampaknya sudah sangat terbiasa menghadapi bullying. Lalu, bagaimana respons mereka?
Pertama, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Tuhan Yesus menjadi teladan sempurna untuk poin ini. Ketika Tuhan ditangkap, difitnah, disiksa, sampai akhirnya dibunuh dengan cara yang sangat keji, Ia sama sekali tidak mengumpat, membalas memukul, apalagi mendendam. Ia pasrah, bahkan berdoa bagi para eksekutor-Nya, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Inilah yang diteladankan oleh para rasul, gereja mula-mula, dan para pendiri gereja Anabaptis-Mennonite. Gaya hidup anti-kekerasan menjadi salah satu ciri khas dan kesaksian hidup yang paling menyentuh. Di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kekerasan dan bullying saat ini, mari kita meneladani Kristus dengan tidak menjadi pelaku bullying. Jika kita menjadi korban bullying, tunjukkan sikap lemah-lembut dan doakan saudara kita yang menjadi pelakunya. Jika kita dibully karena iman kita, kita patut berbahagia seperti perkataan Tuhan Yesus dalam khotbah di bukit (Mat. 5).
Kedua, bertekun di dalam iman. Di tengah-tengah kondisi di mana nyawa dipertaruhkan, sangat wajar dan dapat dimaklumi seandainya gereja mula-mula dan tokoh Anabaptis-Mennonite terpaksa harus menyangkal iman mereka. Namun, fakta sejarah menunjukkan sebaliknya. Mereka justru semakin giat dan bertekun di dalam iman. Penindasan sama sekali tidak menjadi penghalang untuk terjadinya ibadah, pengajaran, dan penginjilan. Meskipun ibadah publik sangat tidak mungkin untuk dilakukan, mereka tetap rajin berkumpul secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah, di gudang-gudang, di ladang, di mana saja tempat yang memungkinkan terjadinya ibadah. Meskipun para pemimpin mereka ditangkap, mereka saling mengajar satu sama lain. Meskipun mereka tidak mungkin secara eksplisit menyatakan identitasnya, kehidupan mereka menjadi kesaksian yang mengabarkan berita injil bagi orang lain. Di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kekerasan dan bullying, mari kita bertekun di dalam iman melalui ibadah, pendalaman Firman, dan kesaksian hidup. Dengan demikian, kita akan terus diingatkan agar tidak menjadi pelaku bullying, sekaligus dikuatkan ketika kita menghadapi bullying.
Ketiga, berakar dalam komunitas. Komunitas iman adalah salah satu rahasia gereja mula-mula dan gereja Anabaptis-Mennonite dapat bertahan hingga saat ini. Mereka tidak bergantung pada tokoh teolog besar, dana yang tidak terbatas, atau struktur organisasi yang kuat. Mereka justru bergantung satu sama lain. Dalam keadaan yang sulit, mereka justru tidak berpikir untuk meninggalkan komunitasnya. Memang benar bahwa terjadi eksodus besar-besaran ketika orang Kristen mula-mula harus melarikan diri dari Yerusalem dan ketika kaum Anabaptis-Mennonite melarikan diri dari otoritas yang ingin membinasakan mereka pada saat itu. Namun, ke mana pun mereka pergi, mereka selalu membentuk komunitas iman dan saling menguatkan satu sama lain. Komunitas ini memberikan dukungan emosi (emotional support) di masa-masa yang tidak mudah. Mari kita tertanam dalam sebuah komunitas agar kita tidak menjadi pribadi yang dingin, egois, dan kejam. Orang yang tidak tertanam dalam sebuah komunitas akan rentan menjadi seorang tukang bully. Di saat yang sama, orang yang menjadi korban bully akan lebih cepat pulih dari luka batinnya di dalam sebuah komunitas.
Kesimpulannya, sebagai murid-murid Kristus, mari kita hidup bebas dari kekerasan, bertekun di dalam iman, dan berakar dalam komunitas. Dengan demikian, kita akan memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, kita tidak akan menjadi tukang bully. Kedua, kita tidak akan menjadi korban bully yang helpless dan hopeless. Sebaliknya, kita justru akan semakin dikuatkan dan menjadi berkat. Tuhan memberkati.