Berita GKMI

Ibadah Online: Masihkah Diperlukan?

| Kamis, 28 September 2023

Ibadah online atau onsite? Mana yang lebih baik? Dan pertanyaan yang lebih mendalam lagi: Apakah ibadah online masih diperlukan? Atau ibadah onsite kah yang tidak diperlukan? Pergumulan inilah yang kita sebagai gereja dan umat Kristen hadapi pasca pandemi COVID-19. 

Karenanya Berita GKMI mencoba menghadirkan pandangan melalui wawancara dengan Pdt. Michael Salim, Gembala Jemaat GKMI Pati, yang dengan pelbagai pertimbangan matang telah melakukan sebuah langkah yang dapat dikatakan anti-mainstream dengan menghentikan sepenuhnya ibadah online di gerejanya. Untuk melengkapi sudut pandang lain, kami juga melakukan sebuah survei yang cukup komprehensif di GGKMI. Seperti apa data-data yang didapatkan? Mari kita ikuti bersama. 


Langkah GKMI Pati Menghentikan Ibadah Online

Di bulan Maret 2020, dikarenakan pandemi COVID-19 yang melanda, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Departemen Agama, dan juga Kabupaten Pati mengeluarkan surat edaran agar gereja-gereja tidak mengadakan ibadah tatap muka. Sejak itulah GKMI Pati mulai mengadakan ibadah online. Dalam pasang surut pandemi, gereja mengikuti setiap surat edaran yang ada, juga mematuhi protokol kesehatan yang diberikan pemerintah dengan mengikuti pembatasan jumlah dan usia jemaat yang diperbolehkan hadir. 

Namun demikian, di minggu kedua Mei 2020, gereja memutuskan untuk menghentikan ibadah online dan kembali beribadah sepenuhnya secara onsite. Minggu, 1 Mei 2022, adalah terakhir kali GKMI Pati mengadakan ibadah online, kecuali di ibadah Malam Natal, 24 Desember 2022, untuk kepentingan dokumentasi karena ada drama musikal di dalamnya. 

Mungkin banyak gereja lain bertanya, mengapa GKMI Pati menghentikan ibadah online? Padahal hingga kini gereja-gereja tetap mengadakannya di samping bertemu onsite. Pdt. Michael berkata bahwa keputusan mereka tentu berangkat dari pertimbangan yang tidak sesederhana kelihatannya. Banyak diskusi, rapat, pengamatan, dan masukan yang menjadi pertimbangan.

Satu aspek yang sangat menentukan keputusan GKMI Pati adalah keberadaan gereja yang berada di kota kecil, yang profilnya tentu berbeda dengan gereja-gereja di kota besar. Di jemaat Pati, sifat atau kultur guyub sangatlah kentara. Mereka rindu untuk bertemu dan beribadah bersama. Jemaat Pati juga masih memiliki pemikiran bahwa kalau beribadah, ya di gereja. Karena itu, saat keputusan dibentuk, jemaat yang hadir hampir mendekati jumlah normal atau seperti sebelum pandemi.

Namun ketika keputusan dilaksanakan, tetap ada jemaat yang memilih untuk ikut ibadah online. Herannya mereka justru adalah jemaat muda dan yang sehat, yang memang sengaja tidak mau ke gereja. Kepada jemaat-jemaat ini, GKMI Pati memberikan penggembalaan khusus. “Kami tidak memaksa, tapi terus mendekati dan mengajak. Dan akhirnya mereka pun mau kembali ke gereja. Dari situ kami simpulkan, ya ibadah online tidaklah menjadi kebutuhan dalam konteks kami,” cerita Pdt. Michael. 

“Kami memahami di kota-kota besar ada pendapat bahwa ibadah online dapat mengakomodasi mereka yang sakit atau menemani orang sakit, berusia lanjut, memiliki keterbatasan fisik, sibuk bekerja dan memiliki waktu yang terbatas,” terang Pdt. Michael. “Namun terlepas dari alasan-alasan ini, ada sisi di mana jemaat merasa dimanjakan oleh teknologi digital. Tentu hal ini pun beralasan. Ibadah-ibadah online saat ini dikemas dengan tampilan menarik, dengan kualitas suara yang prima. Dalam hal ini kebebasan waktu dan bagaimana kita melakukannya juga menjadi poin yang tidak didapat dari ibadah onsite.

Hanya saja perlu diwaspadai, kebebasan ini janganlah menjadi kebablasan. Bagaimanapun, ibadah memiliki dua aspek, yaitu vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan saudara seiman. Ibadah adalah sebuah persekutuan dengan Tuhan dan saudara-saudara seiman, bersama merayakan cinta kasih Allah. Dalam persekutuan bersama saudara seiman inilah ada asah-asih-asuh, saling mengisi dan bertumbuh bersama. Karenanya, jika keadaan tidak sungguh-sungguh memaksa, bagi saya ibadah onsite haruslah menjadi pilihan,” lanjutnya.

Salah seorang jemaat di kota Kudus juga pernah bercerita kepada Pdt. Michael akan survei yang ia adakan mengenai “bagaimana jemaat melakukan ibadah online”. Hasilnya pun cukup mengejutkan. Hanya 1% jemaat yang melakukan ibadah online dengan sungguh-sungguh, dalam arti berpakaian dengan rapi sebagaimana seharusnya ke gereja dan mengikuti liturgi dengan benar: berdiri, berdoa, menyanyi, mengucapkan litani dan Pengakuan Iman, dan sebagainya. Sisanya bisa ditebak menjalani dengan baju sekenanya, sambil makan atau ngopi, dan mengikuti dengan tidak urut alias di-skip-skip saja ke bagian-bagian yang dirasa penting. “Padahal kita mesti ingat, ibadah itu bukan tontonan tetapi persekutuan. Nah, ini menunjukkan bahwa bukan hanya aspek horizontalnya saja yang tidak tercapai, tetapi aspek vertikalnya pun jangan-jangan tidak tercapai,” kata Pdt. Michael memperingatkan. . 

Tentu tidak salah untuk mengadakan ibadah online dengan maksud pemberitaan Injil. Namun Pdt. Michael mengingatkan bahwa ibadah online bukan satu-satunya sarana pemberitaan Injil. Masih ada berbagai sarana lain, misalkan dengan terjun langsung ke masyarakat, berbagi makanan atau kebutuhan pokok untuk orang-orang tidak mampu. Melalui cara ini pun Injil dapat diberitakan.

Selain itu, di era digital ini, ibadah online pun bukannya tidak memiliki risiko. “Berapa banyak video-video ibadah kemudian dimanfaatkan oleh kaum radikal atau fanatik untuk justru menjelek-jelekkan atau mendiskreditkan kekristenan? Juga mencari kesalahan dari pernyataan Hamba Tuhan di mimbar, padahal pernyataan itu dipotong-potong, dilepaskan dari konteksnya, lalu diunggah dengan caption-caption yang bersifat provokatif,” isu Pdt. Michael. 

“Pada akhirnya, saya tentu tidak memaksa gereja mana pun untuk mengambil sikap yang sama dengan kami di GKMI Pati. Saya menyadari konteks dan pergumulan kita masing-masing bisa sangat berbeda. Namun demikian, gereja harus berani mengambil sikap, tentunya dengan alasan-alasan yang Alkitabiah, benar, dan tidak dicari-cari. Semua keputusan ada risikonya dan ada pro-kontranya. Sepanjang kita memiliki pertimbangan yang benar, putuskan dan lakukan itu,” tutup Pdt. Michael. 


Survei bGKMI tentang Ibadah Online dan Onsite

Pada tanggal 8-11 Februari 2023, Berita GKMI mengadakan sebuah survei di antara jemaat GGKMI untuk mencari tahu alasan di balik pilihan mengikuti ibadah online atau onsite. Survei yang dibentuk dengan Google Form ini dibagikan ke grup-grup WhatsApp jemaat GGKMI. 

Animo pengisi survei sungguh melampaui perkiraan kami. Saat survei ini ditutup, sebanyak 138 orang dari 20 GGKMI telah menjawab pertanyaan. Jumlah GGKMI yang mewakili sebenarnya lebih banyak, karena sebanyak 23 responden tidak menyebutkan asal GKMI mereka. Sebagian besar responden (46%) berusia 20-24 tahun, selanjutnya diikuti usia 40-60 tahun (43,8%), di atas 60 tahun (8%), dan di bawah 20 tahun (2,2%). 

Lalu, apakah jawaban mereka? Ketika diberi pertanyaan: “Selama dua tahun terakhir ini, apakah Bp./Ibu/Sdr. lebih sering ikut ibadah online (via YouTube, Zoom, dll.) atau on site (tatap muka)?”, sebanyak 77,9% menyatakan lebih sering mengikuti ibadah onsite, sementara 22,1% lebih sering mengikuti ibadah online. Namun menariknya adalah sebagian besar, termasuk mereka yang lebih sering mengikuti ibadah online, ternyata lebih menikmati mengikuti ibadah onsite, yaitu sebanyak 93,4%. 

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka yang lebih menikmati ibadah on site, rata-rata karena lebih dapat feel-nya, lebih khusyuk, lebih fokus, lebih maksimal, serta bisa berjumpa, menyapa, dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman. Salah seorang responden menyampaikan, “Ibadah online kurang aspek horizontalnya (relasi dengan sesama)”. Responden lain mengutarakan, “Zaman pandemi tentu lebih banyak online di dua tahun terakhir. Tapi kalau nyaman, tentu lebih nyaman onsite, karena lebih bisa hadir (secara fisik, roh dan jiwa). Kalau online, dari segi output sound masih jelek, berhubung tidak di-mixing lagi.” 

Seorang responden juga berpendapat, “Berhubung orang tua yang sedang sakit dan sudah lansia, saya ibadah online, (tetapi) dalam hal kenyamanan, onsite”. Lalu seorang responden berkata, “Karena pandemi, ya ibadah online. Onsite memang harus diusahakan hadir. Kadang kita sedang bepergian keluar kota, (atau) luar negeri (tetapi) masih bisa ikut ibadah online GKMI dan gereja lain.”

Alasan-alasan responden yang menikmati ibadah online juga tidak kalah menarik, antara lain: “Bisa beribadah di rumah, setelah selesai ibadah bisa melakukan aktivitas yang lain, selain bercengkerama dengan keluarga”, “Sekeluarga bisa ikut semua”, “Bisa mengikuti ibadah di tempat kerja”. Bahkan seorang responden menyampaikan bahwa ibadah online memiliki kelebihan, “…hemat BBM, hemat waktu, lebih konsentrasi, kalau ingin belajar tinggal putar lagi rekaman YouTube-nya.” Berhubung di gerejanya belum ada persembahan online, responden tersebut juga menyarankan supaya diadakan agar dia bisa memberikan persembahan. 

Tiga alasan lain yang dikemukakan oleh mereka yang lebih memilih ibadah online ini pun perlu kita jadikan catatan penting. Salah seorang responden menyampaikan, “Kondisi terkadang tidak memungkinkan untuk ibadah onsite. Terima kasih GKMI menyediakan ibadah online, jadi bisa mengikuti ibadah meskipun dari rumah”. Seorang responden lain mengutarakan bahwa karena ia berkebutuhan khusus dan kurang percaya diri untuk beraktivitas di luar, ia lebih menyukai ibadah online. Sementara seseorang juga berpendapat bahwa dia justru lebih fokus dengan ibadah online karena di gereja banyak jemaat yang saling menjelekkan. 

Jika kita kembali ke pertanyaan awal, “Apakah ibadah online masih diperlukan?”, tentulah jawabannya kembali kepada konteks dan pergumulan masing-masing gereja. Fakta dan data yang ada diharapkan dapat memberi wawasan untuk perkembangan GGKMI ke depannya. Kepada para pengisi survei, terima kasih kami ucapkan untuk bantuan dan waktunya. Kiranya hikmat Tuhan dan pertolongan Roh Kudus menyertai kita semua.