Berita GKMI

Lebih Intim dengan Allah Lewat Doa

| Senin, 13 Maret 2023

Banyak orang Kristen yang hidup tapi “mati”, melayani tapi “mati”, rajin ke gereja tapi “mati”, bahkan seorang Hamba Tuhan yang sering berkhotbah sekalipun. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa api rohani kita bisa redup, hingga akhirnya mati secara perlahan?


Kerohanian yang redup

Setidaknya hal itulah yang dialami oleh Pdt. Sionari Hendrik (Gembala Jemaat GKMI Demak) beberapa tahun silam. “Kerohanian pribadi saya terasa kering, gersang, tidak ada semangat dan gairah untuk melayani. Ada perasaan jenuh, terintimidasi, kosong. Kondisi pelayanan terasa berat, setiap tahun tidak ada perkembangan, apalagi terobosan. Membuat saya stres dan frustasi. Rasanya ingin pergi saja dari semuanya,” jelasnya mengenang masa itu. Ditambah dengan fakta bahwa pada saat itu gereja juga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pembangunan gedung PAUD. Dirinya pun semakin bertanya-tanya tatkala sadar bahwa gereja seharusnya menjadi organisme yang bertumbuh. Jelas ada yang salah dengan ini semua.

Sampai suatu saat, Pdt. Sionari bertanya kepada seorang Pendeta Gereja Baptis dari Jepang, mengapa pertumbuhan gereja di Jepang hanya 1% dari jumlah penduduknya? Berbeda dengan tetangganya, Korea Selatan yang bisa mengalami pertumbuhan pesat. Pendeta itu pun menjawab bahwa gereja di Korea Selatan menghabiskan waktunya untuk berdoa, sementara gereja di Jepang menghabiskan waktunya untuk berdebat. “Dalam hati saya berkata, ‘kok seperti gereja di Indonesia, ya?’” celetuk Pdt. Sionari.

Akhirnya, terhitung mulai bulan Agustus 2015, Pdt. Sionari mencoba menerapkan kehidupan rohani yang berbeda. Ia semakin menekankan aktivitas doa, membawa segala keprihatinan hati kepada Tuhan dari pukul 10 malam hingga 1 dini hari. Lanjut di tahun 2016, dirinya berkomitmen untuk berdoa selama 1.000 jam! Dan keinginannya itu tergenapi. “Bukan karena kekuatan dan kehebatan saya, semua karena anugerah dan kemurahan-Nya,” kata Pdt. Sionari dengan rendah hati.


Segala sesuatunya dimulai dari DOA

Di tahun 2017, saat Sidang MPL di Salatiga–yang kebetulan GKMI Demak adalah tuan rumahnya–, Pdt. Sionari bertemu dengan kelompok doa “Sunrise Spirit” dari Jakarta, yang dipimpin oleh Pdt. Yesaya Abdi. “Mereka tertarik dengan kesaksian saya, ternyata kami berada dalam satu frekuensi yang sama. Maka sejak itu kami terpanggil untuk berdoa bagi GGKMI, baik secara Sinodal maupun lokal,” terang Pdt. Sionari.

Dalam perkembangannya, mereka bertemu secara rutin. Kadang di Puncak, Sentul, Demak, dan Bandungan. Hingga akhirnya muncullah WhatsApp Group (WAG) untuk melibatkan lebih banyak lagi orang yang ingin bergabung dan berdoa bersama. Maka dicetuskanlah nama “Muria Berdoa” pada kelompok yang dipimpin oleh Pdt. Sionari ini, karena kelompok doa ini bersifat internal di lingkup GKMI, dengan motto: no prayer no revival, no prayer no breakthrough, no prayer no mission, no prayer no miracle. “Inilah keyakinan Muria Berdoa. Tanpa doa, tidak ada kebangunan rohani, tidak ada terobosan, tidak ada misi, dan tidak ada mujizat,” kata Pdt. Sionari menjelaskan arti dari motto itu.  

Anggota Muria Berdoa dalam WAG kini sudah berjumlah 337 orang dan difasilitasi ruangan virtual Zoom oleh Sinode GKMI, melalui Departemen PSDM. Bapak Daniel K. Tri Handoyo sendiri lah yang setiap hari Senin menjadi host doa bersama melalui Zoom meeting. Kegiatan rutin ini sudah dilakukan sejak masa Pandemi Covid-19 dan masih berlanjut hingga hari ini. Dimulai dari pukul 19.00-21.00 WIB, rata-rata ada 50 orang atau 10% dari anggota WAG yang rajin hadir dalam ruang virtual itu. Mereka berasal dari berbagai GGKMI yang tersebar di Indonesia, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Bahkan ada pula yang dari Kanada. Sebuah kegerakan yang luar biasa!

Setiap harinya pun, ada pokok-pokok doa yang anggota kirimkan melalui WAG. Mulai dari doa bagi Sinode GKMI dan jajaran pemimpinnya, para gembala yang melayani (baik di PIPKA hingga gereja dewasa), serta doa misi bagi suku-suku yang terabaikan agar mereka boleh mendapatkan kesempatan untuk mendengar Injil Keselamatan. “Nama-nama mereka kami sebut dalam doa agar mereka dipakai Tuhan untuk membawa GGKMI pada apa yang Tuhan kehendaki. Setiap hari kami mendoakan dua Hamba Tuhan GKMI yang melayani,” tutur Pdt. Sion. “Para Hamba Tuhan, gembala, kalian sedang didoakan oleh para pendoa di Muria Berdoa, lho,” lanjutnya.

Tak hanya itu, kegiatan Sinodal seperti Sidang MPL pun dilayani doa dan puasa berantai selama satu bulan oleh para anggota Muria Berdoa. Tentu dengan harapan agar melalui persidangan itu, GGKMI mampu untuk bergerak ke depan mengikuti apa yang Sang Kepala Gereja kehendaki, bukan yang kita–manusia–kehendaki. Muria Berdoa juga terus bertekun dalam doa agar Kantor Sinode nantinya tidak hanya menjadi kantor saja tetapi juga menjadi menara doa. Dengan konsep setiap harinya ada orang yang bergiliran datang untuk berdoa di sana.

Terlepas dari pokok doa Sinodal, anggota Muria Berdoa juga mendoakan rekan-rekan kelompoknya yang sedang dalam pergumulan dan pemulihan dari sakitnya. Sudah ada kesaksian dari beberapa anggota Muria Berdoa yang sembuh dari penyakitnya, bahkan kanker sekalipun. Sungguh luar biasa kekuatan doa itu! Sehingga sekarang para anggota juga sedang bergumul agar bisa melakukan pertemuan secara langsung, bukan hanya secara daring saja. “Acaranya hanya bicara tentang doa dan berdoa, tidak bicara soal organisasi atau sistem. Hanya doa dan berdoa,” harap Pdt. Sionari, mewakili rekan-rekan Muria Berdoa yang lain.

Meskipun kegiatan utamanya adalah berdoa, tetapi Muria Berdoa juga turut terlibat dalam membantu gereja-gereja yang sedang dalam proses pembangunan. Seperti di Kalimantan, Lampung, Bali, dan Jawa. “Ini sebuah pergerakan yang luar biasa dan di luar dugaan. Di mana Tuhan menggerakkan pribadi-pribadi anggota Muria Berdoa untuk ambil bagian. Jika Tuhan bekerja, tidak ada satu pun yang dapat menghalangi,” ucap Pdt. Sionari.


Sebuah pengalaman rohani yang luar biasa

Pdt. Sionari pun bersaksi bahwa perkara-perkara besar terjadi melalui jam-jam doa yang kita lakukan, baik itu secara pribadi maupun kelompok. “Mengapa banyak orang Kristen sulit sekali bersaksi tentang pengalaman mereka bersama Tuhan?” pertanyaan dari Pdt. Sionari ini setidaknya membuat saya berpikir sejenak. “Karena tidak ada doa. Doa melahirkan pengalaman-pengalaman iman dan pengalaman inilah yang bisa kita saksikan kepada orang lain, agar memberkati dan menginspirasi,” jawab Pdt. Sionari meyakinkan saya tentang kenyataan yang seringkali kita lupakan.

Sesuai dengan kesaksiannya di awal, setelah mengalami perubahan melalui bertekun dalam doa, Pdt. Sionari mengaku bahwa dirinya saat ini sudah penuh dengan gairah, sukacita, dan “semangat 45” untuk melayani Tuhan. Baginya, ada sukacita yang melampaui akal dan pikiran manusia. Ada pula keberanian untuk menghadapi tantangan pelayanan. Atmosfer pelayanan menjadi sangat nyaman, tidak ada lagi perasaan tertekan dan terintimidasi. Pembiayaan gedung PAUD juga dapat diselesaikan dengan cara yang luar biasa.

Sejak kecil kita diajarkan bahwa doa itu seperti nafas hidup orang Kristen. Bayangkan jika kita memutuskan untuk tidak bernafas, ya sudah pasti kita akan mati. Sama halnya dengan doa, jika kita berhenti berdoa, maka kerohanian kita akan mati. Mengacu pada “pokok anggur yang benar” dalam Yohanes 15:1-8, Pdt. Sionari pun menyimpulkan tentang betapa pentingnya kita untuk menerapkan doa dalam keseharian, “Saya menyimpulkan bahwa doa adalah sarana yang Allah sediakan bagi kita untuk berintimasi dengan Dia. Bahwa kekristenan bukan soal berapa banyak yang kamu tahu tentang Tuhan, tetapi bagaimana intimasimu dengan Dia.”

Doa itu bukan hanya sekadar meminta, tetapi sarana membangun intimasi dengan Tuhan, menghidupkan Roh kita. Jika Roh kita padam, kita akan merasa hampa, kering, kesepian, kehilangan damai sejahtera. “Seorang Hamba Tuhan yang mati rohaninya masih dapat berkhotbah, tetapi tanpa kuasa urapan Tuhan. Itulah mengapa banyak khotbah yang tidak menghidupkan sekalipun, karena yang berkhotbah sendiri rohaninya mati. Orang mati tidak akan menghidupkan orang mati,” terang Pdt. Sionari.


Tetaplah berdoa!

Firman Tuhan berkata dalam 1 Tesalonika 5:17-18, “Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Doa yang dimaksudkan di sini adalah doa yang dipanjatkan secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Harus imbang antara kesungguhan dan rutinitas doa. “Ada yang berdoa terus-menerus tetapi tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya ada juga yang berdoa sungguh-sungguh tapi tidak secara terus-menerus. Seseorang yang mengambil komitmen untuk berdoa secara sungguh-sungguh dan terus-menerus, pasti akan mengalami terobosan dalam hidupnya,” kata Pdt. Sionari. “Jika seorang penerbang dilihat dari jam terbangnya, maka seorang Kristen dilihat dari jam doanya,” imbuhnya. 

Lalu adakah kiat-kiat atau tips agar kita bisa tekun dan bersungguh-sungguh dalam membangun kebiasaan untuk berdoa? Pdt. Sionari pun menjawabnya dalam beberapa poin.

  1. Ingat bahwa doa bukanlah soal meminta saja, tetapi sebuah sarana membangun intimasi dengan Allah. Artinya, doa adalah kebutuhan kita (Yohanes 15:1-8).
  2. Tetapkan waktu dan tempat khusus untuk berdoa supaya minim gangguan (Matius 6:6). 
  3. Tuliskan pokok-pokok doa yang ingin kita doakan agar tidak lupa dan pikiran tidak ngelantur.
  4. Meski lelah, mengantuk, ataupun malas, bangkit dan lawan penghalang itu.
  5. Tinggalkan HP di ruangan lain atau matikan sejenak sampai kita selesai berdoa.
  6. Berlatih untuk berkomitmen dengan kebiasaan doa kita.
  7. Jika sempat bolong, jangan berhenti untuk melanjutkan. Besoknya mulai lagi.

Melalui kesempatan ini, Pdt. Sionari mengajak semua jemaat GGKMI, baik itu dari gereja dewasa, cabang, rintisan PIPKA, hingga yang terpisah batasan negara dan benua, untuk bersama-sama ikut membangun kebiasaan berdoa. 

Bagi yang ingin bergabung untuk berdoa bersama setiap hari Senin pukul 19.00-21.00 WIB, silakan kunjungi alamat situs bit.ly/MuriaBerdoa atau langsung melalui ruangan Zoom (Meeting ID: 867 0581 1142. Passcode: BERDOA). Pdt. Sionari pun menitipkan imbauan berikut, “Para Hamba Tuhan mari bergabung, karena masih jauh lebih banyak jemaat awamnya.”

Ada satu lagi tambahan dari Pdt. Sionari untuk menutup pokok bahasan ini. “Orang Kristen Tionghoa punya slogan: ‘banyak berdoa banyak berkat, sedikit berdoa sedikit berkat, tidak berdoa tidak ada berkat’. Ayo berdoa agar kita diberkati! Amin.”