Berita GKMI

Makna Sebuah Sakramen: Perjamuan Kudus

| Kamis, 28 September 2023

Sebagai orang Kristen, kita cukup sering mendengar kata “sakramen”. Apa artinya sakramen itu? Agustinus, seorang bapa gereja dari abad ke-4 mendefinisikan sakramen sebagai “wujud yang tampak dari anugerah yang tidak tampak”. 

Sejak abad permulaan, gereja memahami minyak, air, roti, dan anggur sebagai simbol anugerah Allah. Dalam perkembangannya, terutama di abad-abad pertengahan, simbol-simbol ini dianggap sebagai sarana yang menyalurkan secara langsung anugerah Allah bagi penerimanya. Sakramen menjadi jembatan yang menghubungkan kehadiran Allah ke dalam dimensi ruang dan waktu. Misalnya, dalam sakramen Perjamuan Kudus, roti dan anggur dipercaya benar-benar berubah substansi menjadi daging dan darah Tuhan Yesus. Meskipun penampakan luarnya tidak berubah, penerima roti dan anggur dianggap benar-benar menyantap daging dan darah Tuhan. Hingga hari ini, Gereja Katolik Roma masih memegang teguh pandangan ini.

Setelah Reformasi pada abad ke-16, pandangan mengenai sakramen semakin terpolarisasi. Sebagian reformator secara ekstrem mengatakan bahwa air dalam baptisan tidaklah lebih dari sebuah simbol pengakuan iman dan roti-anggur dalam Perjamuan Kudus tidak lebih dari sebuah simbol mengenang kematian Kristus. Gerakan Anabaptis yang lahir di tengah-tengah polarisasi ini mau tidak mau harus memilih salah satu dari pandangan teologis yang ada terhadap sakramen. Secara umum, gerakan Anabaptis menolak pandangan gereja abad pertengahan yang melaksanakan sakramen baptis pada anak-anak dan perubahan substansi roti-anggur dalam Perjamuan Kudus. Berdasarkan Alkitab dan pengakuan iman yang mengatakan bahwa tubuh Tuhan sudah naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, gerakan Anabaptis percaya bahwa tubuh Tuhan yang dimaksud dalam institusi Perjamuan Kudus adalah tubuh Tuhan secara figuratif dan bukan literal. Bagi kaum Anabaptis, Allah dapat hadir kapan saja dan di mana saja, terlepas dari ritual-ritual agamawi. 

Jika demikian, mengapa kita masih perlu melakukan Perjamuan Kudus? Apa dampak Perjamuan Kudus yang kita lakukan bagi kehidupan kita? Kunci untuk menjawab dua pertanyaan ini ialah perspektif yang menempatkan Perjamuan Kudus sebagai bagian integral dari peribadatan Kristen, yaitu momen di mana Allah memanggil dan umat-Nya merespons. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan ibadah, Perjamuan Kudus adalah respons terhadap panggilan Ilahi bagi umat-Nya. 


Panggilan apakah itu?

Pertama, panggilan untuk selalu mengingat dan mengakui siapa pusat dari kehidupan Kristiani kita, yaitu pribadi Kristus yang sudah mengosongkan diri-Nya untuk menebus kita. Karya kematian, dan kebangkitan Kristus adalah dasar dari seluruh kehidupan dan pelayanan Kristen. Kehidupan dan pelayanan yang hanya dilandaskan pada dasar yang lain, tidak akan berkenan di hadapan Allah (1 Kor 3:10-23). Itulah sebabnya, pertama-tama, Perjamuan Kudus merupakan suatu panggilan untuk mengingat dan mengakui pusat kehidupan kita.

Kedua, Perjamuan Kudus adalah panggilan untuk meneladani Kristus. Kita perlu melihat Perjamuan Kudus sebagai sebuah teladan hidup yang didemonstrasikan sendiri oleh Tuhan Yesus. Dalam Yohanes 13, kita melihat Tuhan Yesus membasuh kaki dan melayani perjamuan untuk semua murid-Nya, termasuk Yudas yang akan menjual-Nya, Petrus yang akan menyangkal-Nya, dan semua murid lain yang akan meninggalkan-Nya. Perjamuan Kudus adalah sebuah panggilan untuk memberi diri dalam pelayanan bagi sesama, termasuk mereka yang mungkin pernah menyakiti kita. Dalam hal ini, dimensi rekonsiliasi tidak mungkin diabaikan dalam Perjamuan Kudus. Jika Allah yang kudus saja mau berekonsiliasi dengan manusia berdosa, maka kita sesama manusia harus saling memperdamaikan satu sama lain  (Ef 2:11-22). Itulah sebabnya, Perjamuan Kudus merupakan sebuah panggilan untuk memberi diri dan mengampuni, seperti teladan Kristus.

Ketiga, Perjamuan Kudus adalah panggilan untuk bersaksi. Dalam penampakan Tuhan Yesus di Emaus, kedua murid yang sudah mengikuti perjamuan langsung pergi ke Yerusalem untuk memberitakan kebangkitan Tuhan kepada murid-murid yang lain (Luk 24:13-35). Di tengah-tengah realita hidup yang menekan dan membingungkan mereka, Tuhan hadir dengan begitu terselubung, sampai-sampai kedua murid tidak mengenali-Nya. Namun, melalui pemberitaan Firman dan Perjamuan Kudus, keduanya dimampukan melihat kehadiran Tuhan dan dikuatkan untuk menjadi saksi kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya perjamuan Kudus merupakan sebuah panggilan untuk mengabarkan berita Injil.

Kesimpulannya, Perjamuan Kudus merupakan sebuah ritual ibadah yang perlu dipahami dari setidaknya tiga dimensi, yaitu dimensi mengingat, dimensi mengikut teladan Tuhan, dan dimensi penginjilan. Dalam komitmen kemuridan Mennonite—yang diambil dari perkataan Hans Denck, kita percaya bahwa kita dipanggil untuk mengenal Kristus dengan cara mengikuti-Nya setiap hari dalam kehidupan. Perjamuan Kudus merupakan salah satu sarana untuk menjadi murid yang setia. Melalui Perjamuan Kudus, kita diingatkan siapa pusat hidup kita, teladan yang diberikan-Nya, dan panggilan untuk mengabarkan Injil-Nya. Semoga artikel singkat ini dapat menolong setiap kita memaknai Perjamuan Kudus dengan lebih baik, dan jikalau memungkinkan mendorong kita untuk melakukannya lebih sering. Tuhan memberkati.