Berita GKMI

Memangnya Boleh Menggunakan Minyak Urapan?

| Selasa, 12 Maret 2024

Doa Awal Tahun yang diadakan di GKMI Sola Gratia di setiap minggu pertama setiap tahunnya merupakan suatu momen yang penting dan sangat dinanti-nantikan oleh setiap jemaat. “Keluarga demi keluarga maju ke depan, dan Pak Gie (panggilan akrab jemaat GKMI Sola Gratia kepada Pdt. Soegiharto, Gembala Jemaat mereka) mengurapi kami dengan minyak. Kami memaknainya sebagai permohonan berkat dari Tuhan agar kami dimampukan Tuhan untuk melewati tahun yang baru ini,” kesan Bu Umi Sarbiyanti, salah seorang jemaat GKMI Sola Gratia.

“Setiap sebelum ibadah KKR Curahan Mukjizat Allah (CMA), kami semua, para pelayan Tuhan yang terlibat, diurapi dengan minyak oleh Pak Gie satu demi satu,” tutur Elisa Hana, salah seorang jemaat GKMI Sola Gratia, “Saya memaknainya sebagai penyertaan Tuhan dalam pelayanan kami.”

Tentu saya sebagai penulis yang berlatar belakang Pentakosta-Karismatik—sebelum bergabung dengan GKMI—sangat tertarik untuk melihat hal ini dari sudut pandang GKMI. Mengapa? Karena jujur saja, di gereja lama saya, minyak urapan sering dipergunakan dalam banyak hal, terutama untuk mengurapi orang sakit agar sembuh, mengurapi rumah atau tempat usaha baru agar diberkati Tuhan, dan lain sebagainya. Sayangnya, tidak ada penjelasan ataupun konsep yang jelas mengenai minyak urapan itu sendiri. 


Dinamika minyak urapan dalam Alkitab

“Betul sekali, GKMI Sola Gratia memang menggunakan minyak urapan dalam berbagai kesempatan,” jelas Pdt. Soegiharto ketika ditemui di kantornya, “Dan perlu dipahami bahwa penggunaan minyak urapan perlu ditelusuri dari sejarah dan dasar Alkitabiahnya.” Minyak urapan ternyata bukan merupakan sesuatu yang asing di dalam Alkitab kita. Dalam Perjanjian Lama ada kurang lebih 20 ayat yang menyebutkan perihal minyak urapan (Kel. 29:7, Im. 8:10, Maz. 133:2), dan di Perjanjian Baru setidaknya 4 kali disebutkan (Mar. 6:13, Luk. 7:46, Yak. 5:14, dan Ibr. 1:8-9).

Lebih lanjut Pdt. Soegiharto menjelaskan, “Dan kita pun jangan keliru, karena dalam Alkitab pun ternyata penggunaan minyak urapan dalam sejarahnya mengalami dinamika. Ada pergeseran fungsi dan makna dari penggunaan minyak urapan.” Sebagai contoh, beliau menjelaskan bahwa minyak urapan yang dipergunakan untuk mengurapi imam, nabi, dan raja adalah minyak yang khusus, “Ada ‘resep’-nya, jadi bukan sembarang minyak.” 

“Resep” tersebut ada dalam Keluaran 30:22-25, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Ambillah rempah-rempah pilihan, mur tetesan lima ratus syikal, dan kayu manis yang harum setengah dari itu, yakni dua ratus lima puluh syikal, dan tebu yang baik dua ratus lima puluh syikal, dan kayu teja lima ratus syikal, ditimbang menurut syikal kudus, dan minyak zaitun satu hin. Haruslah kaubuat semuanya itu menjadi minyak urapan yang kudus, suatu campuran rempah-rempah yang dicampur dengan cermat seperti buatan seorang tukang campur rempah-rempah; itulah yang harus menjadi minyak urapan yang kudus.’”

“Tentu saja tidak kemudian kita pahami bahwa minyak urapan yang khusus itu sakral, keramat, bertuah, mempunyai kuasa tertentu atau sejenisnya. Mengapa Tuhan meminta umat Israel pada waktu itu membuat minyak dengan cara yang demikian teliti? Tidak lain untuk menguji kepatuhan umat akan kekudusan Allah,” jelas Pdt. Soegiharto.

Lain Perjanjian Lama, lain pula di Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak secara spesifik menyebutkan bahan-bahan yang dipergunakan membuat minyak urapan, dan juga rupanya penggunaannya pun berbeda. Minyak urapan dalam Perjanjian Baru digunakan oleh murid-murid dan gereja mula-mula untuk menyembuhkan orang sakit (Mar. 6:13, Yak. 5:14), serta disebutkan bahwa Yesus diurapi menjelang pengorbanan-Nya di kayu salib (Luk. 7:46) dan ketika Ia datang sebagai Raja di atas Segala Raja (Ibr. 1:8-9). “Dengan demikian jelas ada perubahan atau pergeseran makna dari penggunaan minyak urapan. Ada yang masih sama dengan Perjanjian Lama, ada yang memiliki makna baru di sana,” kata Pdt. Soegiharto.  


Minyak urapan adalah simbol Roh Kudus

“Meski kita melihat ada dinamika atau pergeseran makna, tapi tetap ada ‘benang merah’ dari penggunaan minyak urapan tersebut. Minyak urapan dipergunakan untuk mempersiapkan dan menguduskan seseorang—atau sesuatu, karena Kemah Suci dan perabotannya juga diurapi (Kel. 40:9)—untuk sebuah mandat yang penting atau tugas yang khusus,” kata Pdt. Soegiharto. Misalnya saja, Harun yang diurapi menjadi Imam Besar (Im. 8:12) dan Elisa diurapi menjadi nabi menggantikan Elia (1 Raj-raj. 19:16). Namun yang lebih jelas tentu adalah Daud yang diurapi sampai tiga kali, yaitu sebelum ia menghadapi Goliat (1 Sam. 16:13), ketika ia menjadi raja atas kaum Yehuda (2 Sam. 2:4), dan ketika ia menjadi raja atas seluruh Israel (2 Sam. 5:3). Demikian pula Yesus diurapi sebelum menjalankan tugas-Nya menebus umat manusia di atas kayu salib (Luk. 7:46). “Makna inilah yang saya pahami menjadi dasar dipergunakannya minyak urapan dalam Ibadah Awal Tahun dan sebelum para pelayan Tuhan melayani dalam KKR CMA,” jelas Pdt. Soegiharto.

Apakah Pdt. Soegiharto juga mempergunakan minyak urapan dalam rangka kesembuhan orang sakit? “Ya, jika Roh Kudus menggerakkan, juga karena sesuai dengan Markus 6:13 dan Yakobus 5:14,” jawabnya.

Kemudian Pdt. Soegiharto juga menyampaikan sesuatu yang sangat penting, “Minyak urapan sebenarnya adalah simbol dari Roh Kudus sendiri. Bait Allah adalah tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Yesus diurapi oleh Roh Kudus seiring dengan baptisan-Nya (Luk. 3:21-22, Kis. 10:38). Demikian pula setiap orang yang percaya diurapi oleh Roh Kudus (1 Yoh. 2:20).” Ayat yang mendasari hal ini adalah 1 Pet. 2:9, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.”

“Karena minyak urapan bukanlah sesuatu yang sakral atau keramat, maka biasanya saya menggunakan minyak dari Israel, meski campurannya tentu berbeda dengan minyak urapan dalam Perjanjian Lama. Bahkan bukannya tidak mungkin saya menggunakan minyak lain, atau bahkan baby oil, kalau situasi tidak memungkinkan. Karena bukan minyaknya yang penting, tetapi iman kita kepada Tuhan lah yang penting. Pastinya asal bukan minyak goreng atau bukan minyak sinyong-nyong,” kata Pdt. Soegiharto sambil tertawa.

“Jadi jelas bahwa minyak urapan hanyalah simbol dan sarana belaka, sedangkan kuasa Tuhan sendiri dalam Roh Kudus lah yang bekerja mempersiapkan dan memampukan kita, memberikan kekuatan, dan juga memberikan kesembuhan jika kita menerimanya dalam iman kepada Yesus Kristus,” tegas Pdt. Soegiharto.


Sejarah penggunaan minyak urapan dalam GKMI

Berkaitan dengan sejarah GKMI, Pdt. Soegiharto menyampaikan, “Jika kita melihat sejarah GKMI, Tee Siem Tat, pendiri GKMI, juga menggunakan sarana air dalam botol untuk menyembuhkan banyak orang yang menderita penyakit mata ketika itu. Demikian juga Pdt. Gombak Sugeng (Sie Giok Gian), perintis GKMI Jepara, menggunakan sarana minyak dalam menyembuhkan orang sakit. Jadi GKMI tidak asing dalam penggunaan minyak urapan dan kita tidak latah ikut-ikutan dengan gerakan Pentakosta-Karismatik, melainkan ada dasar sejarah dan juga Alkitabiahnya.” 

“Apakah GGKMI boleh menggunakan minyak urapan? Jawabannya ya boleh saja, karena penggunaan minyak urapan memiliki dasar Alkitab yang jelas. Namun di sisi lain saya juga tidak lalu menganjurkan untuk semua GGKMI menggunakan minyak urapan, karena hal itu tergantung dari pimpinan Roh Kudus dan juga konteks serta pemahaman masing-masing,” kata Pdt. Soegiharto menyimpulkan.

Betul sekali, sebagai bagian dari GKMI yang beraliran Anabaptis-Mennonite yang berpegang teguh kepada Firman Tuhan, setiap tindakan kita perlu dilandasi oleh kebenaran Firman Tuhan, sekaligus peka akan pimpinan Roh Kudus dan mempertimbangkan konteks kita masing-masing. Semoga tulisan ini dapat membuka wawasan kita dan menjadi bekal bagi pelayanan kita.