Sakramen Rohani: Minyak Urapan
Apa itu sakramen? Agustinus, seorang bapa gereja dari abad ke-4 mendefinisikan sakramen sebagai “wujud yang tampak dari anugerah yang tidak tampak”. Sejak abad permulaan, gereja memahami minyak, air, roti, dan anggur sebagai simbol anugerah Allah. Dalam perkembangannya, terutama di abad-abad pertengahan, simbol-simbol ini ternyata kemudian dianggap menjadi sarana yang menyalurkan secara langsung anugerah Allah bagi penerimanya. Sakramen menjadi jembatan yang menghubungkan kehadiran Allah ke dalam dimensi ruang dan waktu. Hingga kini, masih ada gereja-gereja tertentu yang mempraktikkan pengurapan minyak baik sebagai sakramen maupun sebagai bagian dari ritual ibadah.
Bagaimana sebaiknya kita memahami minyak urapan?
Dalam Alkitab, minyak urapan digunakan untuk beberapa tujuan. Pertama, minyak urapan digunakan untuk mengurapi orang yang akan menjabat sebagai raja, imam, atau nabi. Contohnya dapat kita lihat dalam Keluaran 29:7, yaitu ketika Allah memerintahkan Musa untuk mengurapi Harun sebagai imam dan dalam 1 Samuel 10, yaitu ketika Allah memerintahkan Samuel untuk mengurapi Saul sebagai raja. Kedua, minyak urapan digunakan untuk mengurapi benda-benda yang dikhususkan untuk digunakan dalam ibadah. Contohnya dapat kita lihat dalam Keluaran 30, yaitu ketika Allah memerintahkan Musa untuk mengurapi Kemah Suci, Tabut Perjanjian, mezbah persembahan, dan semua perkakas yang akan digunakan di Kemah Suci. Ketiga, minyak urapan digunakan untuk mengurapi orang sakit. Contohnya dapat ditemukan dalam Yesaya 1:6 dan Yakobus 5:14-15.
Dalam tradisi Mennonite, minyak urapan sudah tidak lagi digunakan baik untuk penahbisan jabatan-jabatan tertentu, untuk peresmian gedung gereja, maupun untuk mengurapi orang sakit. Menno Simons mengambil sikap yang sama dengan para Reformator lainnya, yaitu menolak minyak urapan sebagai sebuah sakramen. Menno Simons menekankan pentingnya sakramen rohani dan bukan sakramen jasmani. Artinya, kita tidak perlu terikat pada minyak fisik untuk mendapatkan anugerah Allah. Bagi Menno Simons, kuasa pengurapan Roh Kudus datang dari iman dan ketaatan kepada Kristus, bukan dari minyak urapan.
Inilah yang perlu kita pegang erat, yaitu pengurapan Allah tidak tergantung kepada benda-benda tertentu. Yang lebih penting dari pengurapan jasmani ialah pengurapan rohani. Dalam Lukas 4:18, Tuhan Yesus berkata, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Sebagai pengikut Kristus, kita diurapi dengan kuasa Roh yang sama dengan Kristus dan sudah seharusnya kita mendemonstrasikan ketaatan penuh sebagaimana Kristus taat kepada Bapa.
Bagaimana cara mendemonstrasikan ketaatan kepada Allah?
Pertama-tama adalah melalui kehidupan yang kudus. Hidup kudus bukan berarti hidup yang sama sekali terpisah dari dunia: tidak ke bioskop, tidak ke mall, tidak ke tempat karaoke, dsb. Sama seperti barang-barang di Kemah Suci yang dikhususkan untuk ibadah, hidup kudus berarti hidup kita adalah hidup yang beribadah kepada Tuhan. Hidup kudus adalah hidup yang semakin hari semakin dekat dengan Tuhan dan semakin menjauhi dosa. Kedua, kita mendemonstrasikan ketaatan kepada Allah melalui kehidupan yang menyaksikan kabar baik. Relasi dengan Allah adalah seperti ranting pohon anggur yang menempel pada pokok anggur yang dapat dinikmati orang banyak. Sudahkah orang yang buta rohaninya melihat Allah dalam hidup kita? Sudahkah orang yang berbeban berat mendapatkan penghiburan dari interaksinya dengan kita?
Kesimpulannya, minyak urapan sejati adalah minyak urapan rohani, yaitu pencurahan Roh Kudus ke dalam kehidupan kita. Pengurapan rohani seharusnya membuat kita mendedikasikan hidup kita kepada Allah dan menghasilkan buah Roh yang dapat dinikmati orang-orang di sekitar kita.