Berita GKMI

Solo: The Spirit of Serving

| Jumat, 07 Oktober 2022

Pertemuan terpisah atau assembly scattered MWC Indonesia 2022 awalnya berpusat di beberapa daerah. Tetapi lama-kelamaan mengerucut menjadi 4 tempat, yaitu Jepara, Margorejo, Ungaran, dan Solo. Menjadi sebuah kehormatan sekaligus kebanggaan tersendiri bagi keempat gereja tuan rumah karena tamu-tamu yang hadir adalah para petinggi dan staf dari MWC, serta perwakilan 2 anak muda yang sudah mengikuti Global Youth Summit (GYS) 2022. Dari tanggal 6 hingga 9 Juli 2022, para tamu ini dijamu oleh kehangatan dan keramahtamahan orang-orang Solo dan budaya di dalamnya. 

Tanggal 6 Juli siang, rombongan tamu datang dengan menaiki bus yang ternyata sempat mogok ketika sampai di Solo. Mereka pun diarahkan jemaat GKMI Solo untuk menyantap semangka dan snack setelah harus berjalan di bawah terik matahari untuk menuju ke aula gereja. Di tengah waktu istirahat yang singkat itu, Pdt. Paulus Hartono memperkenalkan diri dan para panitia lokal yang nantinya akan menjamu mereka selama berada di Solo. Lalu menjelaskan agenda tur 3 hari ke depan, di mana mereka akan diajak mengunjungi tempat-tempat khas kota Solo, mencicipi kulinernya, mengikuti workshop yang menyenangkan, serta wisata belanja. Setelah itu, para tamu pun diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri mereka satu per satu.

Sebelum menuju ke lokasi pertama, mereka pun diajak masuk ke gedung gereja untuk memperkenalkan GKMI Solo terlebih dahulu. Setting gereja yang sudah ada perlengkapan gamelan dan janur untuk ibadah malam esok hari pun membuat para tamu menjadi penasaran. Joji Pantoja, tamu dari Filipina langsung sigap merekam vlog lewat ponselnya. “Halo semuanya! Aku Joji dan sekarang sedang berada di gereja Mennonite di Solo,” katanya di depan kamera, sambil melambai-lambai dan mengajak tamu yang lain untuk masuk ke dalam frame rekaman. Setelah mampir singkat ke gereja, para tamu segera menuju ke arah kompleks Keraton Kasunanan Surakarta untuk bertemu dengan salah satu pangeran di sana.

Memasuki pelataran luas dan disambut dengan bangunan rumah kuno perpaduan Jawa-Belanda, KGPH Dipokusumo beserta istri mempersilahkan para tamu dan tim pendamping untuk masuk ke dalam ruang tamu mereka. Nampak foto-foto keluarga dan souvenir dari berbagai negara terpajang dengan rapi. Adem sekali ruangan itu, ciri khas dari bangunan Belanda kuno. KGPH Dipokusumo atau akrab disapa Gusti Dipo pun berbagi tentang bagaimana peran agama, budaya, dan nilai-nilai luhur Jawa dalam menciptakan perdamaian di kota Solo. Lalu para tamu pun ikut berbagi tentang situasi di negara mereka masing-masing, seperti di Burkina Faso dan Filipina. Serta tentunya mengadakan tanya-jawab mengenai cara memelihara perdamaian di kota yang penuh kemajemukan ini. Hal menariknya adalah ternyata Gusti Dipo memiliki hubungan yang akrab dengan komunitas Mennonite. Selain karena dirinya kerap bekerja sama dengan Pdt. Paulus Hartono, ia juga pernah diutus untuk menempuh studi di Summer Peacebuilding Institute, Eastern Mennonite University di Harrisonburg, Virginia.

Usai bertemu dengan Gusti Dipo, para tamu pun berfoto bersama di depan gerbang Keraton Kasunanan Surakarta, meski tidak sempat masuk ke dalam museum karena sudah tutup. Mereka kemudian kami arahkan menuju hotel untuk menaruh koper dan beristirahat sebentar sebelum kembali ke aula GKMI Solo untuk makan malam. Ketika tiba di aula, para tamu pun disambut oleh orkes keroncong para pemuda GKMI Solo dan GKMI Kasih Karunia Allah (KKA). Mereka pun menyantap makan malam sambil mendengarkan dendangan keroncong khas Solo. Bahkan ketika menunggu waktu ibadah malam, Joji dan Jeremiah Choi (Hong Kong) berduet menyanyikan lagu Ni Wen Wo Ai yang diiringi dengan gaya keroncong.

Keesokan harinya, setelah mengikuti ibadah pagi secara live streaming di gereja, para tamu diajak ke Batik Gunawan Setiawan untuk menyantap makan siang, lagi-lagi dengan menu khas Solo, sebelum mengikuti workshop membuat lukisan batik. Cara pembuatannya pun cukup mudah dan tentunya menarik untuk dicoba. Para tamu memilih pola gambar keinginan mereka, lalu menjiplaknya ke kain polos dengan pensil, sebelum ditebali menggunakan malam. Selanjutnya tinggal mewarnai pola malam lalu mencelupkannya ke air, dan jadilah lukisan batik sederhana! Para tamu pun bisa membawa hasil karya mereka sebagai cinderamata dari Solo. Selain kerajinan karya tangan sendiri, mereka juga berbelanja batik dan aksesoris untuk dijadikan oleh-oleh sebelum menuju ke aula gereja untuk makan malam.

Spesial di tanggal 7 Juli, GKMI Solo bertugas untuk melayani ibadah malam secara live streaming. Tim keroncong yang tempo hari mengiringi makan malam para tamu kembali hadir mengiringi, kali ini di altar. Ada pula tim gamelan dari GKMI KKA yang ikut berpartisipasi dalam mengiringi beberapa buah lagu. Para pelayan altar pun berdandan mengenakan pakaian adat Jawa, lurik untuk para lelaki dan kebaya beludru berwarna biru tua untuk para perempuan. Lagu “Gereja bagai Bahtera” dan jingle “GKMI Membawa Damai” dinyanyikan bersama dengan seluruh jemaat GKMI Solo yang hadir pada malam itu. Sadanand Hembrom (Nepal) menyampaikan hal-hal yang ia dapatkan ketika mengikuti Global Youth Summit 2022, diikuti dengan Vikal Rao (India) yang menyampaikan sharingnya, dan Jeremiah membawakan khotbahnya.

Hal yang menarik pada ibadah malam kedua ini adalah diadakannya Perjamuan Kudus yang dipimpin oleh tiga orang sekaligus. Baik jemaat dan tamu yang hadir di gereja—GKMI Solo maupun gereja-gereja tuan rumah Assembly Scattered lainnya—serta peserta MWC yang mengikuti ibadah di STT Sangkakala menerima segelas anggur dan roti spesial yang dibungkus dengan daun pisang. Rasanya benar-benar berbeda dengan Perjamuan Kudus yang biasa kita ikuti. Prosesi ini dikawal dengan lagu “Salib Lama” yang diiringi oleh tim gamelan GKMI KKA, sekaligus mengakhiri ibadah pada malam hari itu. 

Sebagai penanggung jawab dalam tim multimedia gereja, hal ini cukup menjadi tantangan tersendiri bagi teman-teman dan saya ketika harus menyiarkan ibadah yang diikuti ratusan orang secara langsung dengan peralatan seadanya yang gereja punya dan dengan koneksi internet yang cukup membuat deg-deg-an. Meskipun di awal koneksi internet cukup bermasalah, tetapi puji Tuhan, Tuhan lancarkan kembali hingga tuntaslah rasa stres itu. Selain berkoordinasi dengan tim di gereja, saya juga stand by dengan tim IT pusat serta beberapa teman yang mengikuti ibadah di STT Sangkakala. Dan mereka berkata bahwa tayangan ibadah lancar dan audionya bagus, bahkan rasanya seperti nobar layar tancap.

Hari ketiga di Solo, para tamu berkunjung ke GKMI KKA yang berjarak tempuh sekitar 20 menit dari GKMI Solo. Mereka pun disambut oleh alunan gendhing gamelan dan nyanyian para sinden gereja. Setelah menyantap gado-gado, para tamu diajak joged bersama jemaat GKMI KKA, diiringi oleh tim gamelan. Setelahnya, mereka berjalan menuju ke kantor sekretariat emergency Mennonite Diakonia Service (MDS) Indonesia yang letaknya bersebelahan dengan rumah Pdt. Nahum Sudarsono, Gembala Jemaat GKMI KKA. Para tamu pun saling bertanya-jawab dengan Pdt. Paulus Hartono ketika dirinya—yang sekaligus menjadi direktur MDS Indonesia—memaparkan kiprah pelayanan lembaga selama ini. Selanjutnya, para tamu diajak ke sebuah saung kawasan bebas asap rokok yang terdapat di sekitar wilayah gereja. Kebetulan, ketua majelis jemaat GKMI KKA, Pnt. Yunus Widodo, adalah ketua RT sekaligus salah satu pencetus gerakan ini. Para tamu pun duduk di saung dan saling bercengkerama tentang bagaimana kebiasaan merokok di daerah mereka masing-masing.

Dari Mojosongo, para tamu pun diajak ke daerah Kepatihan untuk berkunjung ke Gedung Sekretariat Bersama, tempat di mana YPLAG (Yayasan Perdamaian Lintas Agama dan Golongan) berkantor. Perlu diketahui bahwa YPLAG dan MDS Indonesia adalah partner kerja yang akrab dalam menciptakan perdamaian di kota Solo. Di gedung ini pulalah, para tamu mengikuti diskusi mengenai menjalin hubungan antar-agama bersama dengan Ust. Hardono, pemimpin Koppasgad (kelompok paramiliter di Solo), ketua YPLAG, Helmy Akhmad Sakdilah, dan beberapa rekan YPLAG. Sebelum kembali ke gereja untuk mengikuti ibadah malam, para tamu diajak bersantai ke Gedung Djoeang 45, menikmati angin sore dan makan gelato. Gedung cagar budaya yang dibangun sejak 1880 ini dulunya adalah kantin para tentara Belanda, yang kemudian berubah menjadi asrama, lalu balai pengobatan, dan terus menerus berganti fungsi hingga akhirnya direvitalisasi dan dijadikan tempat wisata umum.

Hari terakhir di Solo dalam rangkaian Assembly Scattered ini ditutup dengan makan siang ke Selat Mbak Lies dan membeli oleh-oleh lagi ke toko batik. Salah seorang tamu, Paul Stucky (Kolombia) bahkan membeli sapu ijuk mini. Ketika saya bertanya apakah dirinya akan menjadikannya sebuah pajangan, ia menjawab, “Tidak, akan saya gunakan untuk menyapu hal-hal yang kecil.” Saya juga menyaksikan hal yang menarik, ketika tamu perwakilan anak muda, Soma Mondal (India) kehabisan uang cash rupiahnya dan ingin menukarkan selembar uang dollarnya dengan Barbara Hege-Galle (Jerman). Dengan santai, Barbara memberikan selembar seratus ribu rupiahnya kepada Soma dan menolak uang dollar itu, “Untuk kamu saja, saya sudah cukup (berbelanja).” Soma pun kegirangan dan mengucapkan terima kasih kepada Barbara. Sungguh momen yang sangat mengejutkan sekaligus membuat saya senang, meskipun bukan saya sendiri yang menerima kebaikan itu.

Destinasi terakhir para tamu adalah Desa Wisata Kreatif Perdamaian Srumbung Gunung—yang bisa pembaca temukan artikelnya di edisi bGKMI bulan lalu. “Sambutan dari jemaat dan warga sekitar sangat luar biasa. Saya seakan pernah berada di Indonesia karena persaudaraan yang saya rasakan di sini,” kesan Barbara. Danisa Ndlovu (Zimbabwe) pun menuturkan kesannya selama empat hari berada di Solo, “Saya menikmati interaksi dengan komunitas: pertemuan dengan Gusti Dipo dan kelompok lintas agama, workshop batik, termasuk ketika berbelanja. Saya merasa seperti berada di rumah. Bahkan bisa menghargai budaya-budaya yang kalian miliki dan apa arti menjadi seorang Kristen tanpa membeda-bedakan apapun.” 

Mendengar kesan para tamu sekaligus menjadi bagian dari peristiwa hidup mereka adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Tak hanya tentang persaudaraan dalam iman, menyadari bahwa daerah kita juga memiliki banyak hal positif yang bisa dibagikan adalah suatu kebanggaan tersendiri. Melalui pengalaman ini, saya juga belajar bagaimana kita harus melayani setiap orang dengan sepenuh hati, tulus, ikhlas, dan dengan kasih. Layaknya cerminan kasih Yesus kepada dunia ini.