Tetap Semangat Melayani, Meski Lewat Penantian Lama
Memiliki kesempatan ini merupakan anugerah tersendiri bagi saya, apalagi jika saya harus menanti sekitar 3 tahun semenjak lolos seleksi program YAMEN (Young Anabaptist Mennonite Exchange Network), program kolaborasi antara MCC (Mennonite Central Committee) dengan MWC (Mennonite World Conference). Namun saya meyakini bahwa penantian ini adalah cara Tuhan dalam memperlengkapi saya sebelum ke India, tempat di mana saya menjalani pelayanan YAMEN.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses penantian ini, salah satunya adalah COVID-19 yang melanda hampir seluruh wilayah bumi. Apalagi ketika varian Delta yang mematikan kala itu merebak secara masif di India, pada awal 2021. Tentu membuat orang tua saya tidak setuju jika saya tetap memutuskan untuk berangkat. Ada begitu banyak perjalanan iman yang saya lalui sebelum akhirnya mantap untuk tetap melanjutkan pelayanan ini. Bukan hanya perkara sudah menunggu lama dan restu orang tua, tetapi juga ketersediaan ladang pelayanan di sana. Saya sudah pasrah, jika memang pelayanan saya harus batal, itu memang karena Tuhan tidak menghendaki saya untuk pergi.
Hingga akhirnya saya mendapatkan restu dari orang tua dan kami bersepakat untuk meyakini jika Tuhan yang berkehendak, maka Tuhan sendirilah yang akan mengirim saya ke India, satu paket dengan perlindungan dan penyertaan-Nya. Saya sangat bersyukur atas dukungan doa dan moril dari keluarga, Tim Gembala Jemaat GKMI Kudus serta teman-teman yang selalu ada dalam perjalanan ini. Namun penantian tidak selesai sampai di sana. Proses penerbitan visa India yang terkenal mudah pun menjadi begitu lama karena adanya COVID-19.
Sembari menunggu terbitnya visa, saya dan teman-teman peserta dari Indonesia melakukan orientasi secara online. Dilanjutkan dengan orientasi sesama peserta YAMEN dari berbagai negara secara online juga karena kasus COVID-19 yang masih tinggi, sehingga tidak memungkinkan bagi kami untuk berkumpul di satu negara seperti tradisi yang sudah-sudah. Meskipun kami melakukannya secara daring, tetapi saya masih ingat betul keseruan-keseruan yang tercipta ketika orientasi. Setelah satu minggu orientasi, satu per satu dari kami mulai berangkat ke negara tujuan pelayanan masing-masing. Tetapi visa saya masih belum keluar juga, membuat saya agak khawatir sekaligus belajar memaknai berserah yang sesungguhnya.
Sempat saya mulai ragu lagi, apakah melanjutkan pelayanan ini adalah keputusan yang tepat? Tetapi salah seorang kakak rohani saya mengingatkan, “Sekalipun salah ambil keputusan, jangan takut sebab Tuhan akan selalu sertai,” dan kata-kata itu sangat menguatkan saya. Hingga akhirnya, visa saya dapatkan tiga bulan setelahnya. Masa pelayanan yang seharusnya 11 bulan menjadi hanya 8 bulan. Saya berangkat ke India akhir November 2021, bersamaan dengan 3 peserta lainnya, Tiara (JKI Kudus) berangkat YAMEN ke Kenya (Afrika), serta Monica (JKI Semarang) dan Tri (GITJ Pati) yang berangkat IVEP (International Volunteer Exchange Program) ke Indiana (AS).
Mungkin banyak yang mempertanyakan, “Kenapa kok mau ke India?” Sebetulnya, sebelum ditempatkan di sana, saya sempat ditawari untuk bekerja di sebuah rumah retreat di Irlandia Utara. Tetapi saya kurang sreg karena lebih ingin berinteraksi dengan anak-anak. Untungnya tawaran itu dibatalkan karena situasi pandemi. Dan muncullah tawaran menjadi guru di India, tanpa mempermasalahkan negaranya, saya pun menyetujuinya. Sesampainya di India, saya dijemput oleh seorang kakak koordinator program. Beliau bercerita bahwa kebetulan sekolah baru saja dibuka, sehingga kedatangan saya bisa dibilang tepat waktu. Memang, waktu Tuhan yang terbaik.
Pelayanan saya adalah menjadi guru Bahasa Inggris, Matematika, dan Kerajinan Tangan di dua sekolah yang didirikan oleh seorang anggota gereja Mennonite di sana. Saya sangat bersyukur bisa mengajar anak-anak mulai dari playgroup hingga kelas 10. Melalui mereka, saya bisa belajar banyak hal, terutama mengenai perbedaan budaya dan latar belakang.
Selama pelayanan di India, saya tinggal bersama host family: mama, papa, dan kakak perempuan. Anggota gereja yang saya jumpai setiap minggu juga merupakan keluarga bagi saya, apalagi jumlah jemaatnya tidak begitu banyak. Kami sangat dekat dan mereka sangat hangat. Tinggal di tengah-tengah keluarga India asli membuat saya belajar tentang budaya India yang seutuhnya. Meskipun masih sama-sama terpapar dengan budaya Asia, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada begitu banyak perbedaan. Tidak hanya ilmu memasak makanan India yang saya pelajari, tapi juga bagaimana keseharian mereka di dalam keluarga maupun ketika bersosialisasi dengan keluarga besar, tetangga, bahkan dengan anggota jemaat gereja lainnya. Hidup di tengah-tengah masyarakat lokal dengan agama minoritas membuat saya bisa mendengar dan melihat pertumbuhan iman mereka dalam menghadapi setiap tantangan yang ada, baik secara eksternal maupun internal.
Tidak dipungkiri juga ada tantangan dalam perjalanan pelayanan ini, meskipun bisa dikalahkan dengan sukacita yang lebih besar. Di setiap tantangan yang saya alami, saya belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sehingga saya pun menghargai setiap momen yang tercipta selama berpelayanan di India. Saya bisa belajar bahasa baru, yaitu Hindi yang merupakan salah satu bahasa nasional di India. Saya juga bisa belajar sejarah negara lain, memiliki saudara dan teman dari negara lain, mencicipi makanan autentik negara lain, belajar meningkatkan kemampuan berkomunikasi, dan masih banyak lagi. Bahkan saya juga memiliki teman sepelayanan dari Kamboja dan Mozambik, meskipun tempat pelayanan kami berjauhan tetapi kami bisa saling berbagi. Kami saling mendukung satu dengan lainnya selama pelayanan ini, sehingga persahabatan kami boleh terjalin. Itu semua mengajarkan saya banyak hal, terutama untuk memandang sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas.
Sedangkan tantangannya adalah masalah komunikasi yang kadang terkendala karena perbedaan bahasa. Saya membutuhkan waktu lebih untuk mengikuti jadwal makan mereka, di mana kebanyakan orang India memiliki kebiasaan untuk makan malam tepat sebelum pergi tidur, yaitu tengah malam. Ada juga beberapa culture shock yang saya alami selama di sana. Seperti saya tahu bahwa sapi disucikan di India, tetapi saya tidak menyangka bahwa mereka juga hidup liar di jalanan, bak kucing yang hidup liar di sekeliling kita. Sebagian besar wilayah di India juga mengharuskan bebas plastik, sehingga jika berbelanja ke pasar kita harus membawa kantong belanja sendiri. Ada banyak stereotip yang benar akan India, tetapi tidak sepenuhnya benar. Ada juga yang salah tetapi tidak sepenuhnya salah.
Sebuah hak istimewa yang Tuhan beri untuk saya boleh singgah dan hidup di tengah masyarakat India. Sebuah kehormatan bagi saya bisa berbagi dan masih ada begitu banyak cerita yang tidak bisa saya bagikan karena keterbatasan ruang dalam kata. Untuk itu, teman-teman pemuda Mennonite bisa mengalami sendiri secara langsung bagaimana serunya bisa melayani jauh dari zona nyaman, atau bahkan membuat zona nyaman yang baru nantinya. Pendaftaran program ini (YAMEN dan IVEP) akan dibuka pada bulan Agustus-September setiap tahunnya dan akan diinfokan melalui gereja masing-masing (GKMI, GITJ, dan JKI). Selagi mempersiapkan diri untuk pendaftaran tahun depan, teman-teman juga bisa tanya-tanya dulu ke email gslcommittee.indonesia@gmail.com. Sampai jumpa di YAMEN berikutnya!