Berita GKMI

Urip Iku Urub

| Senin, 15 Juli 2024

Sebagai seorang kristiani (baca: murid Kristus) yang terlahir dan hidup di bumi Indonesia ini, tentulah kita memiliki dinamika tersendiri dalam menjalani gerak langkah kehidupan sehari-hari. Keragaman suku, budaya dan agama yang menghiasi tanah persada, pada satu sisi menjadi sebuah kekayaan hakiki dari Sang Pencipta yang perlu kita syukuri. Namun pada sisi lain, hal ini membutuhkan sikap hati yang bijaksana serta kesediaan diri untuk “nguri-uri” (merawat) keberagaman itu agar tetap lestari dan terjaga harmoninya, sebagaimana rancangan Ilahi.

Di tengah persiapan yang sedang dilakukan untuk pertemuan akbar lima tahunan bagi Sinode kita, yaitu Persidangan Raya ke XXIX, 19-22 Agustus 2024, di Jepara; betapa kaget sekaligus gembiranya hati saya mendengar bahwa Persidangan Raya kali ini mengangkat tema “Urip Iku Urub“. Betapa tidak! Sebuah tema yang diambil dari salah satu “paribasan” (pepatah) Jawa, yang senyatanya memang sudah tidak asing di telinga, bahkan begitu dekat dengan kehidupan menggereja di mana saya mengerjakan panggilan hidup sebagai seorang Gembala Jemaat, yaitu di GKMI Winong. Sebuah kalimat yang kelihatannya sederhana namun sesungguhnya mengandung suatu falsafah hidup yang sangat mendalam. 

Lantas bagaimana sebuah pertemuan akbar yang menjadi tempat bagi perwakilan GGKMI berkumpul bersama menikmati persekutuan sekaligus berembug/bermusyawarah, mengevaluasi dan merancang pelayanan ke depan, mengangkat tema “Urip Iku Urub”? Mungkinkah ini salah satu cara bagi kita sebagai gereja Tuhan yang ditempatkan-Nya di bumi pertiwi, untuk mengerjakan tugas panggilan kita, sekaligus berupaya turut serta “nguri-uri” keberagaman yang ada di negeri ini?


Hidup harus berguna bagi sesama

Jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia, falsafah “Urip Iku Urub” berarti: “Hidup Itu Menyala.“ “Urip” berarti “hidup”; “iku” artinya “itu”; sedangkan“urub” artinya “menyala”. Orang Jawa sering menggambarkannya sebagaimana sebuah lampu teplok atau senthir. Dalam konteks hidup zaman dulu, di mana listrik masih menjadi barang langka dan hanya dirasakan manfaatnya oleh orang-orang tertentu saja, maka teplok atau senthir ini menjadi harapan bagi banyak orang, menjadi terang di tengah kegelapan. Pada masa itu, rasanya hampir semua orang memiliki alat penerangan ini. 

Namun demikian, walaupun kita memilikinya, jika teplok atau senthir ini tidak menyala, ia tidaklah berguna. Oleh karena itu, teplok atau senthir itu harus menyala, agar ia menjadi berguna. “Teplok/senthir kudu urub.” Dengan demikian, falsafah “Urip Iku Urub” sesungguhnya mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu harus berguna: berguna bagi sesama, bermanfaat bagi sekitarnya. Hidup itu bukan hanya untuk diri sendiri dengan segala hal yang dimiliki. Nilai hidup seseorang tidak terletak kepada jabatan yang dimiliki, kepandaian dan kekayaan yang dipunyai. Nilai hidup lebih kepada apakah hidup kita berguna bagi sesama di sekitarnya.

Dalam kacamata kristiani, rasanya nilai kehidupan ini dapat disandingkan dengan pengajaran Yesus kepada murid-murid-Nya perihal garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16). Para murid Yesus ternyata juga memiliki panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia. Garam haruslah tetap asin dan jangan menjadi tawar. Mengapa? Ya, karena kalau ia sudah tawar, maka garam itu sudah tidak ada gunanya, tak ada faedahnya. Jadi gambaran tentang garam mengandung penekanan tentang nilai kebergunaan atau kebermanfaatan. Menjadi murid Yesus itu harus berguna, memberi manfaat bagi sekitarnya, bagaikan garam yang memberikan rasa sedap pada makanan atau menjadi pengawet yang mencegah kebusukan pada bahan makanan. Kalau tidak ada gunanya, ya dia akan dibuang dan diinjak orang. 

Demikian pula sebagai terang. Terang itupun harus berguna dan bermanfaat bagi sekitarnya. Yesus mengajarkan agar terang itu diletakkan di atas kaki dian sehingga berguna menerangi sekitarnya. Janganlah terang itu hanya berada di bawah gantang (Alkitab bahasa Jawa: tompo). Karena jika demikian, terang itu menjadi tidak berguna bagi sekitarnya. Dalam kata lain, Yesus mengajarkan kepada para murid supaya mereka menjadi berkat bagi sekitarnya.


Tantangan menjadi kesempatan

Bagi jemaat GKMI Winong, kalimat “Urip Iku Urub” bukanlah hal yang baru didengar. Tulisan ini terpampang di atas salah satu jendela yang berada di teras gereja. Oleh karena itu, tulisan ini mudah ditemukan dan dibaca. Semua jemaat yang datang ke gereja, masyarakat sekitar gereja, termasuk di dalamnya para jamaah yang baru keluar bersembahyang di Masjid Al-Muqorrobin yang terletak persis di depan gereja, akan membacanya. 

Pemasangan salah satu falsafah atau nilai hidup masyarakat Jawa di atas jendela teras gereja ini memang disengaja. Sejak gedung GKMI Winong direnovasi tahun 2019 lalu, tulisan ini menjadi bagian dari ornamen yang menghiasi teras gereja. Inilah salah satu bentuk upaya gereja mengingatkan jemaat agar dalam menjalani kehidupan ini mereka memperhatikan dan mengejawantahkan falsafah “Urip Iku Urub” sebagai bagian dari panggilan kristiani serta sekaligus turut “nguri-uri” kebudayaan sendiri.

Di tengah segala keterbatasan yang ada, GKMI Winong berusaha untuk menghidupi panggilannya sebagai gereja yang mengejawantahkan falsafah “Urip Iku Urub.” Bagaimana caranya agar tulisan yang sarat makna ini tidak hanya terpampang di teras gereja, tetapi sungguh dihidupi dalam kenyataannya? GKMI Winong berusaha menjadi gereja yang kehadirannya “migunani” (berguna) bagi sesama dan masyarakat sekitarnya. Gereja hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi haruslah berguna bagi dunia di mana dia ditempatkan Allah. Gereja haruslah menjadi garam dan terang dunia.

Berbagai tantangan yang ada haruslah dilihat bukan semata-mata sebagai kendala. Sebaliknya tantangan adalah sebuah kesempatan untuk mewujudkan panggilan-Nya, “Urip Iku Urub”. Contoh yang pertama, terkait dengan pandemi COVID-19. Kasus ini ditemukan di Indonesia pertama pada awal Maret 2020, sementara GKMI Winong didewasakan pada tanggal 1 November 2019. Ini berarti ketika baru 4 bulan kami belajar melangkah sebagai gereja dewasa, kami harus berhadapan dengan pandemi. Gagapkah kami menghadapinya? Ya, harus diakui rasa itu sempat ada. Namun di tengah segala keterbatasan, seakan Tuhan malah membawa kami untuk belajar mewujudnyatakan panggilan-Nya sebagai gereja yang “Urip Iku Urub”, menjadi gereja yang “migunani” dan hadir menjadi berkat bagi masyarakat di masa pandemi.

Diawali ketika Tuhan menggerakkan kami untuk menggandeng MDS (Mennonite Diakonia Service–sekarang Muria Damai Sejahtera) untuk menyediakan tempat cuci tangan yang saat itu sangat dibutuhkan oleh semua warga. Ada dua buah tempat cuci tangan yang kami upayakan, satu di Pos Ronda RT 11 RW 03 yang digunakan oleh masyarakat sekitar, dan satunya lagi di depan gereja–yang juga dapat digunakan bersama jemaah Masjid Al-Muqorrobin yang akan melakukan ibadah. 



Selanjutnya, Tuhan membawa kami untuk membagikan nasi bungkus di setiap hari Selasa. Oleh karena di GKMI Winong ada persekutuan Doa Puasa setiap hari Selasa, maka ketika pandemi melanda dan banyak orang mengalami kesulitan, jemaat diajak untuk membagikan “jatah” makan pagi dan siang mereka. Dibentuklah Tim GWP (GKMI Winong Peduli) yang mengkoordinir kegiatan ini. Setiap hari Selasa jemaat yang mengumpulkan berapa pun bungkus nasi sesuai dengan kerelaan dan kemampuan mereka. Tim GWP kemudian membagikannya kepada masyarakat sekitar gereja, juga para tukang parkir, tukang becak, dan mereka yang membutuhkan. Pembagian nasi bungkus untuk masyarakat di sekitar gereja dalam prosesnya melibatkan ketua-ketua RT di 9 RT yang ada dalam satu wilayah RW 03. Merekalah yang mengambil nasi-nasi bungkus di gereja dan kemudian membagikannya ke warga sesuai wilayah masing-masing. Dengan demikian kegiatan berbagi nasi bungkus ini sekaligus menjadi sarana wujud kerja sama gereja dengan lingkungan sekitar. 

Puji Tuhan, selain berbagi nasi bungkus, kami dapat pula menyalurkan sekitar 1.000 masker yang kami peroleh dari para sahabat kepada masyarakat. Demikian pula ketika dibentuk “Satgas Jaga Tangga” di lingkungan RW. Saya selaku Gembala Jemaat terlibat aktif sebagai satgas, juga gereja, dengan menggandeng seorang sahabat, dapat membagikan kaos seragam bagi semua anggota satgas. Hal ini menambah semangat mereka dalam menjalankan tugas sebagai satgas. Kami bersyukur bahwa dalam gerak pelayanan Tuhan memperlengkapi kami dengan para sahabat yang mendukung kami, khususnya dalam hal dana, karena memang kami sangat terbatas dalam hal keuangan.

Kami merasakan kepak sayap Tuhan untuk mengajak GKMI Winong yang baru dewasa ini semakin luas lagi memaknai pituturUrip Iku Urub.“ Tuhan memperjumpakan kami dengan para pemuda yang memiliki panggilan untuk menjadi hamba Tuhan dan sedang menempuh studi  sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Kristen Wiyata Wacana (STAKWW), Pati. Dari percakapan di antara kami, tahulah kami bahwa ada di antara mereka yang sedang mengalami kesulitan terkait kehidupan keseharian mereka di asrama. Keluarga yang selama ini menopang mereka terdampak COVID-19. Kembali Tuhan memberi ruang kepada kami untuk terlibat menunjukkan kasih-Nya. Beberapa anggota jemaat GKMI Winong secara sukarela dan sukacita bergantian memperhatikan kebutuhan mereka dengan menyediakan beras, minyak, telur, sayuran, hingga peralatan mandi. Secara garis besar, kami meyakini, inilah panggilan Tuhan bagi kami untuk menjadi berkat. “Urip Iku Urub!”

Pandemi jelas menghadirkan tantangan yang sangat berat untuk dihadapi. Tetapi kami bersyukur dimampukan untuk dapat melewatinya sekaligus sebagai sebuah kesempatan untuk membentuk diri kami menjadi gereja yang mewujudnyatakan nilai hidup “Urip Iku Urub.” Saat  pandemi telah sirna, sikap hati kami sudah semakin terbentuk. Kesadaran akan panggilan untuk berbagi dan menjadi gereja yang berguna bagi sesama semakin nyata. Di titik inilah Tuhan kembali pertemukan kami dengan beberapa orang yang sedang menempuh pendidikan dan membutuhkan dukungan biaya dalam banyak hal. Ada yang membutuhkan dukungan biaya asrama. Ada pula yang membutuhkan dukungan untuk biaya skripsi. Walau mereka bukanlah jemaat GKMI Winong, Tuhan menggerakkan kami untuk membuka diri menjadi gereja yang menjadi berkat bagi sesama. Beberapa jemaat menyediakan diri untuk “urunan” (patungan) sesuai kemampuan guna mendukung mereka. Gereja dipanggil untuk memperlengkapi dan mendampingi, hingga kini para mahasiswa ini telah menyelesaikan studi mereka di sekolah teologi. 

Setelah pandemi berlalu, Tuhan kembali memberi kesempatan kepada kami untuk mewujudnyatakan nilai hidup “Urip Iku Urub” melalui pengadaan CCTV. Dengan kebaikan hati para sahabat, yang Tuhan gerakkan mendukung kami, GKMI Winong berkontribusi dalam pengadaan CCTV guna kebutuhan pengamanan lingkungan RT di mana rumah emiritasi berada. Melalui sahabat yang baik pula, sebagai bagian dari kegiatan aksi sosial dalam rangka Masa Raya Natal, GKMI Winong membagikan 60 kacamata gratis kepada masyarakat di sekitar gereja yang membutuhkan. Kami sungguh bersyukur, di tengah segala keterbatasan kami, Tuhan perlengkapi kami dengan para sahabat yang bersedia mendukung kami mewujudkan gereja yang “migunani”. 

Tantangan lain, terkait dengan keberadaan gedung gereja yang berhadapan bahkan menyatu dengan masjid. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Namun kami bersyukur pula karena kami dimampukan melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk mewujudkan nilai hidup “Urip Iku Urup” di tengah pluralitas agama yang ada. Kami bergumul bagaimana GKMI Winong dapat berguna dan bermanfaat di tengah perbedaan agama yang ada di tengah masyarakat sekitarnya. Karena letak gereja yang demikian, kami terdorong untuk berkontribusi menumbuhkembangkan semangat toleransi di tengah masyarakat di mana kami berada. Kami menemukan hal ini sebagai bagian dari panggilan Tuhan untuk GKMI Winong, yaitu menjadi berkat dengan cara mengembangkan sikap toleran di tengah masyarakat. Gedung gereja dan masjid yang berhadapan menjadi simbol toleransi yang harus pula terwujud nyata dalam hidup masyarakat sesehari. 

Oleh karena itu GKMI Winong berusaha untuk semakin menghidupi semangat toleransi dalam berbagai kegiatannya. Misalnya dalam rangka Natal, kami memperbarui pola aksi sosial yang dilakukan. Jika pada awalnya aksi sosial kami lakukan bagi para penghuni panti asuhan, tukang parkir, tukang becak, para pemulung, atau para gelandangan, maka sekitar sepuluh tahun terakhir kami melayani kaum dhuafa yang ada di lingkungan sekitar gereja, yaitu dalam lingkup satu RW, para petugas kebersihan lingkungan, dan marbot masjid. Data kaum dhuafa kami peroleh dari pengurus pengajian, yaitu ibu-ibu Masjid Al-Muqoroobin. Bahkan dalam pembagiannya, di tahun-tahun awal kami didampingi oleh pengurus pengajian tersebut. Kegiatan ini pada satu sisi menjadi ruang bagi GKMI Winong untuk berbagi dengan warga sekitar gereja yang membutuhkan, tapi sekaligus juga mengembangkan sikap toleransi karena dikerjakan bersama dengan mereka yang berbeda agama.

GKMI Winong juga menginisiasi adanya Kebaktian Bersama sebagai bagian dari kegiatan rutin Sedekah Bumi. Biasanya kegiatan Sedekah Bumi Desa Winong hanya terdiri dari tiga acara, yaitu: bancaan (berdoa dengan membawa makanan di punden), pagelaran wayang kulit, dan pengajian. Namun sejak tahun 2017 diadakan pula acara Kebaktian Bersama sebagai rangkaian kegiatan Sedekah Bumi. Kebaktian Bersama ini diikuti oleh warga Desa Winong yang beragama Kristen dari berbagai denominasi gereja dan juga umat Katolik. Pemerintah desa dan masyarakat menyambutnya dengan baik karena menjadi sarana untuk semakin membangun semangat toleransi di tengah kehidupan masyarakat Desa Winong. Bahkan kini, acara ini memiliki nilai tersendiri karena di seluruh Kabupaten Pati, baru di Desa Winong inilah diselenggarakan kegiatan Kebaktian Bersama dalam rangkaian acara Sedekah Bumi.



Dalam ruang lingkup yang lebih luas, GKMI Winong juga turut terlibat sebagai inisiator kegiatan membersihkan Sungai Juwana dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Kegiatan ini dilakukan bersama sedulur-sedulur dari Banser, JAMPISAWAN (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana), WANAMERU (Kelompok Pecinta Alam), STAKWW (Sekolah Tinggi Agama Kristen Wiyata Wacana), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslim Indonesia) dan BAMAG (Badan Musyawarah Antar Gereja) Kabupaten Pati. Dalam acara ini, melalui seorang sahabat, kami pun dapat turut menambah semangat panitia pelaksana dengan memberikan kaos bertuliskan “Beda Kang Nyawiji“ (artinya: berbeda tetapi menyatu). Selain sebagai sarana membangun kebersamaan hidup di tengah keberagaman yang ada, kegiatan ini sekaligus menjadi salah satu perwujudan “Urip Iku Urub”, hidup itu berguna dan bermanfaat untuk sesama dan sekitarnya.

 

Urip Iku Urub: panggilan yang dihidupi

Demikian sedikit gambaran mengenai falsafah “Urip Iku Urub” yang telah kami hidupi, juga sepenggal kisah perjalanan hidup GKMI Winong dalam upaya melaksanakan tugas panggilannya sebagai gereja Tuhan yang hidup di bumi pertiwi, yang juga ditempatkan Tuhan secara unik di sebuah lokasi yang berhadapan dan menyatu dengan Masjid Al-Muqorrobin di kota Pati. Terima kasih untuk setiap sahabat yang sudah turut serta mendukung gerak hidup GKMI Winong selama ini. Tetaplah taruh kami dalam hati. Doakan dan dukunglah kami agar di tengah segala keterbatasan diri, GKMI Winong dapat terus menghidupi nilai “Urip Iku Urub.”

Bahkan terlebih dari itu, kerinduan kami, kiranya GGKMI pun dapat menghidupi tema Persidangan Raya XXIX “Urip Iku Urub” ini menjadi bagian dari panggilan kita sebagai murid-murid Kristus yang hidup di Bumi Pertiwi. Bagaikan garam dan terang, kiranya GGKMI dapat terus berguna dan terus memberkati masyarakat di mana mereka Tuhan tempatkan. Gusti mberkahi!