Berita GKMI

Awas Cyberbullying

| Sabtu, 16 September 2023

Kemajuan dunia maya tidak bisa dibendung lagi. Sulit bagi kita untuk meninggalkannya karena sudah jadi kebutuhan. Artinya, mau tidak mau, cepat atau lambat, perilaku kita di dunia nyata akan bermigrasi ke dunia maya. 

Hal yang paling kentara adalah cara kita berkomunikasi. WhatsApp, Twitter, Facebook, Instagram, TikTok, dan media sosial lainnya akrab kita gunakan. Tak jarang sikap buruk kita pun bermigrasi ke sana, salah satunya perundungan! 

Jika perundungan (bullying) di dunia nyata saja sudah menyakitkan, apalagi cyberbullying atau yang dikenal dalam kosa kata bahasa Indonesia sebagai “perundungan siber”. Mengapa demikian? Perundungan di dunia maya tidak mengenal batas waktu dan tempat. Dan parahnya, pelaku dengan tidak bertanggung jawab bisa bersembunyi di balik akun anonim atau akun palsu!

Siksaan cyberbullying, tidak jarang korban memilih untuk mengakhiri hidup. Di Indonesia sendiri menurut data UNICEF tahun 2020 sebanyak 49% korban cyberbullying memilih mengakhiri hidup. Dan bisa jadi korban atau pelaku adalah orang-orang di sekitar kita, yang kita kenal. Namun pernahkah terpikir, jangan-jangan korban atau pelaku cyberbullying itu adalah kita sendiri?

Karenanya, sebelum membahas lebih jauh, mari kita lihat apa saja yang termasuk ke dalam cyberbullying. Dilangsir dari bullyid, ada tujuh hal yang dikategorikan sebagai cyberbullying

  1. Flaming: Serangan verbal bertubi-tubi
  2. Harassment: Terus-menerus mempermalukan orang lain
  3. Denigration: Mengumbar keburukan orang lain 
  4. Impersonation: Berpura-pura jadi orang lain saat berkomentar 
  5. Outing and TrickeryOuting - Menyebarkan rahasia pribadi orang lain seperti foto atau video; Trickery - Melakukan tipu daya untuk mendapatkan rahasia tersebut 
  6. Exclusion: Perundungan siber dengan mengucilkan orang lain dari aktivitas online 
  7. Cyberstalking: Terjadi jika ada pesan intimidatif yang terus-menerus dikirim lewat media sosial.

Nah, dari ketujuh hal tersebut adakah yang familiar terjadi di sekitar kita? Bisa saja kita secara tidak sengaja, tanpa maksud buruk, melakukan hal tersebut. Contoh yang paling sering terjadi adalah outing, foto lucu dan guyonan kita kirimkan kepada teman kita, tetapi ternyata orang itu keberatan dan merasa tidak nyaman, sehingga menyakiti perasaannya. Itu sudah termasuk cyberbullying, meski kita melakukannya tidak dengan sengaja.

Perlu kita pahami bahwa sebagian besar korban tidak berani speak up, menghentikan, melaporkan, atau menegur pelaku. Kita memahami kesulitan tersebut karena kadang dengan mudah pelaku menutup dialog di media sosial dengan kata “Sorry becanda”, “Maaf ya, gitu aja baper”, “canda kale….” Akibatnya tidak terjadi dialog rekonsiliasi yang mendalam dan sudah terlanjur menjadi trauma. Korban menarik diri dari komunitas, kepercayaan dirinya hancur, dan merasa dirinya tidak bernilai lagi. 

Belum lagi jika cyberbullying yang terjadi adalah fitnah atau pembunuhan karakter. Aduh! Sudah salah, terlanjur distigma masyarakat. Syukur-syukur jika ada klarifikasi, kalau tidak? Rusak sudah citra diri orang tersebut. Pahit-pahitnya yang terjadi adalah cancel culture, sebuah gerakan untuk menolak keberadaan orang tersebut.


Payung Perlindungan terhadap Cyberbullying

Ada nggak sih payung perlindungan hukum? Ada. Di Indonesia, cyberbullying dalam konteks penghinaan yang dilakukan di media sosial diatur pada pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). 

Pada prinsipnya, tindakan penghinaan terhadap orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 adalah hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 750 juta rupiah. Tetapi meskipun sudah ada payung hukum, proses penegakannya tidak dapat berlangsung cepat. Akibatnya terkadang korban enggan melapor, kecuali jika sudah viral.  Bagaimanapun yang terkesan yang viral pastilah akan cepat diurus. Belum lagi jika barang bukti sudah terlanjur di-take down, dihapus, sehingga tim digital forensic kesulitan untuk mencari jejak digitalnya. 

Sungguh rumit memang membahas cyberbullying. Apalagi tren penggunaan artificial intelligence menambah kesulitan tersendiri dalam menangkap pelaku. Hal ini juga semakin menambah luka dari korban karena adanya metode serangan yang baru. 


Apa yang Bisa kita Lakukan?

Mengasihi sesama adalah panggilan setiap kita yang percaya kepada Tuhan Yesus.  Relasi kita sesehari menjadi wujud ketaatan kita menjadi murid Kristus. Jalan yang benar itu memang sempit dan dan sesak, tetapi itu menuju kepada kehidupan. Meskipun tidak popular kita selayaknya berani mengambil jalan tersebut. 

Matius 7:12 (TB2) berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka, itulah inti Taurat dan Nabi-nabi.” Untuk kasus perundungan sebaiknya kita juga berpedoman pada ayat ini. Apakah kita mau mendapat perlakuan demikian? Jika tidak mau, jangan pula kita lakukan kepada orang lain! 

Merundung, merendahkan seseorang itu sama saja melecehkan Sang Pencipta dari manusia yang kita bully. Mari kita berhenti dari tindakan menyakitkan ini. Jika kita berkelit dengan alasan candaan belaka, ingatlah bahwa candaan itu sifatnya harus tidak ada keberatan! Di dunia professional comedy saja, roasting misalnya, harus sudah mendapat persetujuan dari pihak yang hendak dijadikan bahan bercanda, jika tidak ingin dikategorikan sebagai perundungan. 

Sebaliknya, jika kita berada dalam posisi korban, ada hal yang perlu kita latih selain berani berbicara ataupun melaporkan, yakni belajar mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang berbuat jahat kepada kita (Lukas 6:27-28). Jangan memupuk dendam dan melakukan  pembalasan yang bisa jadi malah berdampak lebih jahat bagi pelaku. Mari berani pula menegur dan menasihati pelaku tersebut dengan benar. Jangan langsung koar-koar tetapi lakukan klarifikasi. Tegurlah secara empat mata, dan baru berlanjut terus ekskalasinya jika pelaku tidak menunjukkan penyesalan (Matius 18:15-20). 

Dan yang penting dari penyelesaian cyberbullying ini adalah jangan menyelesaikan masalah dengan sekedar texting, karena akan rentan disalahartikan. Lebih baik kita lakukan dengan tatap muka, berbicara langsung, sehingga bisa melihat gesture dan ekspresi yang tidak dapat kita temukan dengan texting.


Rangkullah Korban, Dengarlah!

Lalu bagaimana jika kita dalam posisi hendak menolong orang-orang di sekitar kita yang menjadi korban Cyberbullying? Hal utama yang harus kita lakukan adalah mendengarkan. korban tanpa menghakimi. Mencoba memahami situasi yang sudah terlanjur merusak gambar diri korban adalah harga mati. Terlebih jika korban dalam fase krisis, dan sudah tidak tahu lagi harus cerita kepada siapa untuk mengatasi keterpurukannya. Tolonglah dengan merangkul korban dan dengarkan tanpa menghakimi. 

Jika tahap itu sudah dilalui, kita bisa mengidentifikasi tindakan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Selalu utamakan bertanya kepada korban dalam tahap ini. Bisa saja jika belum terlalu buruk dampaknya kita bisa mengajak mereka meningkatkan kesadaran tentang privasi bermedia sosial. Ada fitur-fitur seperti system private (bisa “digembok”, dibatasi, difilter lingkaran pertemanannya), system report yang setiap aplikasi memiliki sebagai panduan komunitas, dan juga pusat bantuan untuk melaporkan ketidaknyamanan yang kita rasakan.  Selain itu ada pula system block yang bisa membatasi akun yang dirasa sangat mengganggu. Ketiga hal tersebut bisa menciptakan batas-batasan yang sehat dalam berselancar di dunia maya bagi setiap individu. Ingat, kewenangan ada di jempol kita!

Nah, yang hal yang kedua ini cukup baik dilakukan sebagai upaya advokasi korban jika memerlukan ranah hukum sebagai jalan keluar. Tanyakan adakah screenshoot lalu save. Hal ini akan menciptakan jejak digital yang bisa dijadikan bukti untuk menolong korban apabila pelaku dirasa sudah sangat merugikan. 

Namun sekali lagi, kita juga perlu membuka diri akan adanya peluang playing victim dalam kasus cyberbullying. Selain itu dapat pula yang terjadi adalah kesalahpahaman akibat tidak adanya klarifikasi tentang kebenaran berita yang ada, ketidaksukaan yang mengarah kepada ketersinggungan, bahkan salah tafsir. Jadi utamakan mendengar dengan simpati, tetap berjaga-jaga, dan bersikap bijak. 

Catatan penting jika korban sudah demikian buruk kondisi mentalnya, cepatlah bekerja sama dengan yang ahli dalam menolong mereka. Ada psikolog dan konselor yang bisa membantu memetakan kondisi korban cyberbullying. Demikian pula jika kita merasa perlu korban bisa tidak mengunakan media sosial untuk sementara waktu, hal itu dilakukan sampai kondisi korban sudah siap untuk bermedia sosial kembali.


Bersikap Bijak dan Mendorong Sesama Menciptakan Lingkungan yang Bersahabat

Saya yakin kita semua berpeluang menjadi korban dan pelaku cyberbullying, karena sebagai manusia yang jatuh dalam dosa, perilaku di dunia nyata akan terbawa ke dunia maya. Jika kita adalah pelaku, sudahi tindakan kita, minta maaf kepada korban, dan bertobatlah. Mari tingkatkan kesadaran kita dengan melatih jempol kita untuk think before text, sort out before share. Hargai privasi orang lain dengan meminta izin saat hendak mengambil gambar atau video. Mintalah klarifikasi atau izin jika hendak menuliskan tentang orang lain di media sosial, Di negara-negara di mana perundang-undangan tentang cyberbullying sudah maju, mereka akan dengan otomatis mengaburkan tampilan wajah dari seseorang jika belum mendapatkan izin. 

Jika kita pribadi sudah terlatih melakukannya, kita bisa melakukan kampanye, mengedukasi lingkungan kita, semisal di kelompok kecil, komisi, dan acara-acara lain. Dengan demikian terciptalah lingkungan yang bersahabat dan anti bullying. Mari kita bangun semangat mengasihi dan menghargai sebagai sesama manusia dan bukan karena serta merta takut akan hukuman. 

Apakah ini semua bisa dilakukan? Bisa, tetapi ingatlah bahwa membangun budaya itu memerlukan waktu. Lakukan bersama-sama dan terus menerus, lakukan dengan konsisten, niscaya kesadaran akan bahaya perundungan bisa terbangun suatu saat nanti. Selamat membangun budaya mengasihi sesama lewat anti-bullying. Semoga suatu kali nanti kelak kita bisa berkata: “Bye-bye cyberbullying!”


-Sdr. Daniel Talenta-