Gereja yang Murah Hati
Kisah perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37) menjadi model Yesus untuk menggambarkan sikap belarasa. Orang Samaria ini secara tidak langsung dipakai-Nya guna mengejawantahkan prinsip Hukum Kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus di dalam kehidupan sehari-hari. Pengenalan akan Allah berkorelasi langsung dengan mengenal akan sesamanya. Inilah logos yang akan kita dalami, yakni mengenal siapakah sejatinya sesama kita.
Menjadi menarik ketika kita juga mendalami tokoh pemilik penginapan yang diminta pertolongannya oleh orang Samaria untuk merawat korban perampokan. Jelas kita sebagai pembaca tidak mengenal siapakah pemilik penginapan itu, sebab teks Alkitab tidak menyebutkan secara detail identitas dari si empunya penginapan. Namun kita dapat mengenal pribadinya melalui akar kata bahasa Yunani yang dipakai dalam teks. Kata yang digunakan adalah “pandochei” (Pas: semua dan Dechomai: menerima). Dengan demikian kita mendapatkan dua orang yang murah hati dalam kisah tersebut, yaitu orang Samaria dan pemilik penginapan. Dalam kepribadian mereka terpancar penerimaan akan semua orang. Semua orang tak terkecuali diterima, ditolong, dirawat dan diruwat sampai sembuh.
“Penerimaan akan sesama yang berbeda inilah bagi Theo Sundermeier disebut sebagai Misi Konvivenz, yakni tentang hidup bersama yang menekankan tiga karakter penting: gotong royong pada kehidupan bersama, belajar satu dengan yang lain secara bersama, serta perayaan bersama yang mencerminkan partisipasi dan kebebasan,” kata Pdm. Hendrajaya, Gembala Jemaat GKMI Tanjung Karang (Prasetyo, 2008, h.101).
Menerima satu sama lain
Prinsip penerimaan akan sesama tanpa pandang bulu inilah yang mendorong GKMI Tanjungkarang, Kudus, untuk tidak berdiam diri ketika bencana banjir musiman melanda Desa Tanjungkarang dan sekitarnya. Sebagaimana telah dimuat dalam majalah bGKMI edisi Januari-Februari 2023 lalu, GKMI Tanjungkarang menjadi tempat pengungsian bagi warga sekitar. Tercatat, gereja menampung total 48 jiwa. Oleh anugerah Tuhan, GKMI Tanjung Karang bergerak bersama Pura Peduli dan berbagai lembaga non-Kristen, antara lain Jogo Tonggo desa Gebog, Pondok Pesantren Al-Muayyad, Komunitas Al-Zahir, Pimpinan Cabang NU Kota Kudus, dan komunitas ibu-ibu Muslimat NU. Bahkan fenomena warga Muslim bersalat di aula gereja yang digunakan untuk menampung pengungsi pun menjadi viral, sehingga tidak sedikit tokoh masyarakat hingga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo hadir di lokasi untuk memberikan dukungan moril.
Tidak hanya turut serta memberikan pertolongan kepada warga sekitar yang terdampak banjir, GKMI Tanjungkarang juga terpanggil untuk berperan dan memberikan sumbangsih bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu GKMI Tanjung Karang bersama warga masyarakat Desa Tanjungkarang ikut terjun untuk menghadapi terpaan krisis multidimensi yang masih dirasakan bangsa dan rakyat Indonesia saat ini khususnya berkaitan dengan semakin tergerusnya nilai-nilai persatuan dan rasa kebersamaan yang sudah mulai memudar.
Kesadaran GKMI Tanjung Karang bersama tokoh-tokoh masyarakat akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa juga mendorong warga untuk ikut peduli dan terpanggil untuk berkontribusi. Wujud kontribusi bersama dalam rangka menjaga dan menghidupi kerukunan dan saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keutuhan NKRI tercinta adalah dengan membangun Kampung Pancasila di RW 5 Desa Tanjungkarang.
GKMI Tanjung Karang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat seperti Perayaan HUT RI; kerja bakti lingkungan membersihkan rumah ibadah, makam, dan prasarana umum lainnya; bakti sosial untuk masyarakat umum; ikut terlibat dalam perayaan-perayaan keagamaan lintas agama; turut mengamankan perayaan keagamaan umat beragama lain, juga berpartisipasi dalam dialog dan diskusi kebangsaan dan lintas agama. Satu hal yang dapat dikatakan sangat unik adalah mereka juga membentuk Tim Paduan Suara Desa. Paduan suara ini beranggotakan elemen-elemen yang ada di masyarakat, yaitu PKK, perangkat desa, masyarakat, dan Tim Paduan Suara Gabungan Remaja Masjid dan Remaja Gereja.
Di bulan September 2023 ini pula Desa Tanjungkarang turut berpartisipasi dalam Lomba Kampung Moderasi Beragama tingkat nasional yang diadakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. Yang menarik adalah Bapak Boedi Poedjijono, yang notabene adalah Majelis Jemaat GKMI Tanjung Karang, didapuk untuk melakukan presentasi dalam rangka launching Desa Tanjungkarang sebagai Kampung Moderasi Beragama.
“Kerukunan beragama merupakan sesuatu yang harus kita upayakan terus-menerus,” pesan Pak Boedi Poedjijono, “Orang kadang berkata, ‘Ya mungkin untuk konteks GKMI Tanjung Karang bisa, di konteks kami belum tentu bisa.’ Tapi perlu saya sampaikan bahwa yang terjadi hari-hari ini di GKMI Tanjungkarang adalah sebuah proses yang panjang, yang jika kita upayakan maka suatu saat akan berbuah manis. Saya sendiri menyaksikan dari sejak ayah saya menjadi Majelis Jemaat, GKMI Tangjungkarang telah berupaya menjalin hubungan yang baik dengan umat-umat beragama lain di Desa Tanjungkarang. Jadi tentu proses itu tidak mudah. Tetapi jika kita berupaya dengan tidak mengenal lelah, pasti bisa terwujud.”
Kirab Lentog dan teks Petrus menyembuhkan orang lumpuh
Dalam kehidupan orang Yahudi, memberi sedekah merupakan salah satu budaya yang dilakukan sebagai bentuk tata laku spiritualitas umat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka tidak jarang umat memberikan sedekah kepada orang-orang yang berkekurangan di dekat pintu Gerbang Indah Bait Allah. Budaya lain yang dapat kita temui ialah orang lumpuh itu sendiri. Ia mengalami pergumulan menjadi orang lumpuh sejak lahir, sehingga harus digotong oleh banyak orang. Di sinilah Petrus datang sebagai sosok protagonis yang memberikan mujizat melalui budaya tersebut. Bukan emas perak yang menjadi sedekahnya, melainkan hanya nama Yesus yang ia beri! Spirit inilah yang menjadi dasar kesembuhan orang lumpuh itu, dan menjadi kesaksian bagi banyak orang. Kisah luar biasa ini dimuat dalam Kisah Para Rasul 3:1-10.
GKMI Tanjung Karang pun tidak lepas dari yang namanya budaya. Daerah Tanjungkarang memiliki budaya Kirab Lentog yang diadakan sekali dalam setahun, biasanya di bulan Juli. Kirab ini diadakan sebagai wujud syukur dan sikap melestarikan tradisi atas ikon kuliner asli desa ini, yakni Lentog Tanjung. GKMI Tanjung Karang pun pernah mengalami situasi sulit. Namun seperti halnya teks Petrus, bukan karena emas dan perak, mereka sebagai gereja mampu bangkit, melainkan spirit akan nama Yesus. Mereka merasakan gairah hidup yang baru, kekuatan yang baru.
Pdm. Hendrajaya selaku Gembala Jemaat GKMI Tanjung Karang menyampaikan, “Salah satu cara kami mengekspresikan ucapan syukur dalam Kirab Lentog adalah melalui pementasan gerak dan lagu “Glory, Glory, Halleluya.” Bak orang lumpuh yang melompat-lompat memuji Tuhan di hadapan umat yang datang di Bait Allah, kami pun mengekspresikannya di tengah ribuan pengunjung yang ada di Lapangan Lentog Tanjung. Semua ini karena spirit yang sama, yakni penerimaan Tuhan sebagai cara hidup dan laku setiap hari! Terpujilah nama Tuhan!”
Mari GGKMI di mana pun berada, kita turut serta membangun kerukunan beragama sebagai bentuk partisipasi kita membangun Indonesia yang utuh dan bersatu, saling menghargai dan mampu bekerja sama di antara agama-agama yang ada. Ya, satu IndONEsia, IndONEsiaku satu!
*Referensi:
Djoko Prasetyo A.W, “Konvivenz dan Teologia Misi Interkultural menurut Theo Sundermeier”, Gema Teologi: Jurnal Fakultas Theologia, Universitas Kristen Duta Wacana, 32, (1 April 2008), h.101