Berita GKMI

Make a Safe Workplace

| Jumat, 15 September 2023

Perundungan (bullying), di mana pun tempatnya, sangat bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Sebagai anak-anak Tuhan, kita diajar untuk menyatakan kasih dalam setiap gerak hidup kita. Namun demikian, praktik perundungan bisa juga menimpa kita. Betapa tidak, kalau dulu pada umumnya perundungan dikenal di lingkungan sekolah saja, kini kantor atau lingkungan kerja juga tak luput dari masalah serupa. Bahkan perundungan di tempat kerja kini menjadi hal serius karena dampak negatif yang ditimbulkan, baik bagi korban, kelompok, perusahaan, bahkan lingkungan sosial secara luas. 

Di negara-negara maju, perundungan di lingkungan kerja telah lama menjadi isu yang mengemuka. Parlemen Eropa misalnya, memberikan perhatian besar melalui riset dan program-program untuk mencegah perundungan di tempat kerja. Di Amerika Serikat, Workplace Bullying Institute  dengan motto “Work shouldn’t hurt” (mestinya pekerjaan tidak menyakiti) dengan gigih menentang perundungan bagi orang-orang yang bekerja. Data riset mereka menyatakan bahwa di tahun 2017 terdapat 19% pekerja yang mengalami perundungan, 19% pekerja mengaku menyaksikan terjadinya perundungan, dan 63% menyadari bahwa di lingkungan kerjanya terjadi perundungan. Ketika survei serupa dilakukan lagi pada tahun 2021, angkanya naik 11% lebih tinggi menjadi 30% untuk jumlah pekerja yang mengalami perundungan dibandingkan tahun 2017! Sungguh sebuah kenaikan yang sangat signifikan! 

Di negara berkembang, khususnya Indonesia, fenomena perundungan di tempat kerja juga dapat kita rasakan. Penelitian oleh Gunawan, Prihanto, dan Yuwanto di tahun 2009 terhadap 123 pekerja di Surabaya menemukan bahwa 49% dari mereka menjadi saksi mata tindakan perundungan di tempat kerja. 


Perundungan dan jenisnya.

Apa sih yang dimaksud dengan perundungan? Berdasarkan beberapa sumber, termasuk dari The Anti-Bullying Alliance, sebuah koalisi yang menentang perundungan, perundungan adalah “Tindakan menyakiti yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain yang diwarnai oleh ketidakseimbangan kekuatan”. Perlakuan agresif yang menyakitkan dan berlangsung berulang-ulang, serta ketidakseimbangan power inilah yang membuat korban perundungan terjebak dan mengalami kesulitan untuk membela diri. 

Jenis perundungan bisa bermacam-macam. Salah satu yang sering dijumpai adalah perundungan verbal, seperti meledek, menghina, menertawakan, memaki, mencela, dan seterusnya, termasuk juga ekspresi wajah atau gestur merendahkan dan mengancam. Ada pula perundungan fisik, seperti menjambak, memukul, menendang, menampar, dan lain-lain. Selain itu ada pula perundungan sosial, seperti menjauhi dan mendiamkan, mendiskriminasi, mengucilkan, dan masih banyak lagi.  Di zaman digital ini ada lagi jenis perundungan yang disebut perundungan dunia maya (cyberbullying) yang pada dasarnya mirip dengan perundungan verbal atau sosial, tetapi dilakukan di dunia maya. Misalnya, memberikan pesan teror, memberi komentar yang menyakitkan atau menghina, dan mengucilkan secara daring, atau melalui media sosial.


Reaksi terhadap Perundungan

Berkembang atau tidaknya perundungan sangat berkaitan dengan reaksi yang muncul terhadap suatu kejadian. Ketika orang-orang di sekitarnya menunjukkan sikap tidak peduli, maka pelaku akan menganggap bahwa perilakunya adalah wajar. Di dunia kerja dapat kita jumpai pandangan bahwa perundungan adalah hal biasa di tengah persaingan bisnis yang ketat. Ada pula yang beralasan perundungan hanyalah salah satu cara untuk membuat seseorang (korban) menjadi lebih kuat dan tangguh menghadapi tantangan pekerjaan. Namun jangan salah, semuanya itu tetaplah berupa tindakan perundungan.

Karenanya, jika perundungan terjadi sudah tentu reaksi positiflah yang diharapkan muncul baik dari pelaku maupun mereka yang menyaksikan perundungan tersebut, yaitu mengakui, menunjukkan empati, dan menunjukkan sikap membela, yang kesemuanya diperlukan untuk memperkuat mental korban, bukan sebaliknya! Perusahaan juga hendaknya memiliki sistem, prosedur, dan budaya yang dapat mencegah terjadinya perundungan, termasuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku. 


Dampak Perundungan

Dampak perundungan tidak boleh disepelekan oleh siapapun. Dapat dikatakan bahwa perundungan, termasuk di tempat kerja, mengakibatkan perasaan tidak nyaman yang dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental, bahkan trauma psikologis yang berkepanjangan. Secara jangka pendek, korban mengalami emosi negatif seperti sedih, marah, dendam, malu, dan sebagainya. Emosi negatif tersebut kemudian merubah perilaku korban, misalnya korban menjadi lebih pendiam dan menjaga jarak dengan lingkungannya. Secara fisik, korban perundungan bisa mengalami gangguan pola tidur dan pola makan yang akan memengaruhi kondisi kesehatannya. Pada akhirnya, penurunan motivasi dan prestasi kerja tak terhindarkan lagi. 

Secara jangka panjang, dampak perundungan dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan atau depresi yang serius, tidak jarang memunculkan pikiran atau keputusan bunuh diri. Ada pula korban perundungan yang mengalami sakit hati mendalam sehingga berubah menjadi pribadi pendendam yang sewaktu-waktu dapat meledakkan emosinya dalam bentuk tindakan agresif yang tidak terkendali. 

Bukan hanya korban, para saksi pun mengalami tekanan psikologis yang tak dapat diabaikan. Penelitian Gunawan dkk. menemukan bahwa para saksi mata perundungan juga merasakan dampak psikologis berupa rasa marah, terluka, sedih, kecewa, kehilangan rasa percaya diri, marah pada diri sendiri, merasa terisolasi, frustrasi di tempat kerja, dan mengalami ketakutan dalam menghadapi orang lain. Perusahaan juga menanggung kerugian yang tidak kecil. Dari begitu banyak emosi negatif serta masalah mental yang ditimbulkan, perusahaan tentu terkena dampaknya. Suasana kerja menjadi kurang harmonis, kinerja karyawan menurun, dan perusahaan dapat menjadi sorotan media yang berpotensi menurunkan reputasi perusahaan tersebut.


Kecenderungan menjadi Korban atau Pelaku

Siapakah yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi korban perundungan? Benarkah ada ciri sifat tertentu yang membuat seseorang rentan untuk mengalami perundungan? Lalu, seseorang dengan profil seperti apa yang biasanya bertindak sebagai pelaku? 

Menurut seorang pengacara Amerika Serikat, Sally A. Kanekelompok karyawan yang rentan mengalami perundungan adalah karyawan yang cenderung pasif, pendiam dan pemalu, kurang berani mengungkapkan pendapat, serta menuruti saja keinginan orang lain. Selain itu karyawan baru, karyawan difabel, karyawan minoritas, atau karyawan yang jauh lebih tua atau jauh lebih muda dari yang lain juga rentan mengalami perundungan. Menariknya, karyawan yang cerdas dan rajin, atau jujur dan pintar bersosialisasi, tak luput menjadi sasaran perundungan. Hal ini terjadi terutama ketika pelaku perundungan terpicu oleh rasa iri atau marah karena kalah populer. 

Di sisi lain, Bill Eddy, seorang pengacara dan penulis buku di AS, menyebutkan ciri-ciri kepribadian yang berpotensi melakukan perundungan, yaitu mereka yang rendah dalam hal kemampuan berempati, sulit mengontrol emosi, dan ingin menguasai orang lain bukan secara logika tetapi secara emosional. Mereka suka melebih-lebihkan diri sendri dengan bercerita kepada orang lain tentang hal-hal menjengkelkan atau menggelikan yang dilakukan korban. Para perundung ini menyampaikan hal-hal negatif tentang korban, dan memengaruhi orang lain untuk ikut melecehkan korban. 



Mari Cegah Berkembangnya Perundungan!

Perlu kita sadari bahwa merundung adalah tindakan yang sangat tidak terpuji, bahkan dapat mengarah pada kriminalitas. Amsal 14: 21 menegaskan, “Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita.” (Amsal 14: 21). Lebih jelas lagi Tuhan Yesus berfirman, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Matius 5: 22). Hal ini memperjelas posisi kita sebagai pengikut Kristus yang tidak boleh menjadi pelaku perundungan. Sebaliknya, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat” (Filipi 4:5). Alih-alih menjadi perundung, anak-anak Tuhan didorong untuk menjadi para pendamai di lingkungannya. 

Kemungkinan menjadi korban perundungan juga bisa terjadi pada kita sebagai anak-anak Tuhan. Lalu bagaimana mengatasinya? Perlu diketahui bahwa pelaku perundungan pada dasarnya adalah orang yang secara psikologis merasa insecure dan tidak yakin dengan dirinya sendiri. Merundung orang yang lemah adalah cara mereka merasa kuat dan berkuasa.

Oleh sebab itu peluang menjadi korban perundungan dapat kita hindari dengan:

  1. Memupuk rasa percaya diri. Kita harus menyadari bahwa kita adalah anak-anak Tuhan yang berharga dan dikasihi-Nya. Yesaya 43: 4a berkata: “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau.”
  2. Membangun keterampilan berkomunikasi asertif, yakni berbicara dengan tegas namun tenang, menyampaikan bahwa kita tidak nyaman dengan tindakan pelaku. Misalnya, “Bro, aku nggak nyaman kamu panggil dengan sebutan itu.”
  3. Ketika pelaku melancarkan aksi perundungan, hindari bersikap reaktif atau melawan. Jangan terpancing. Tetaplah menunjukkan ekspresi tenang. Reaksi menentang akan membuat pelaku merasa diuji kekuatan pengaruhnya sehingga akan meningkatkan intensitas perundungannya. 
  4. Bila mungkin, dokumentasikan praktik perundungan yang dilakukan pelaku dan jadikan sebagai data untuk mencari dukungan teman atau melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang menangani, misalnya HRD.
  5. Mencari bantuan profesional, ketika dampak psikologis kita rasakan cukup serius dan mencapai taraf mengganggu aktivitas kita sehari-hari. 


Pada akhirnya kita semua bertanggung jawab terhadap berkembangnya praktik perundungan. Oleh sebab itu, sebagai pribadi atau komunitas, kita perlu mengembangkan sikap menerima dan menghargai orang lain. Keluarga dan komunitas dapat menjadi tempat yang strategis untuk mencegah perundungan. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta kasih yang cukup, diterima dan diakui, akan menjadi pribadi yang percaya diri sehingga tidak mudah terperangkap dalam tindakan perundungan dan tidak tergoda memanipulasi kekuasaan untuk mendapatkan keberhargaan dirinya. Nilai-nilai kekristenan yang tumbuh subur akan menjadikan sebuah komunitas, termasuk sebuah tempat kerja, menjadi tempat belajar untuk hidup saling mengasihi, menghargai, dan menerima.


-Dra. Yohana Domikus, M.Si., Psikolog Trauma-

Daftar Acuan
American Pyschological Association. (2009). Stop Office Bullying. https://www.apa.org/topics/bullying/office
Eddy, B. (2021, September 7). Why bullies win. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/5-types-people-who-can-ruin-your-life/202109/why-bullies-win
Lassiter, B. J., Bostain, N. S., & Lentz, C. (2021). Best practices for early bystander intervention training on workplace intimate partner violence and workplace bullying. Journal of Interpersonal Violence, 36(11-12), 5813–5837. https://doi.org/10.1177/0886260518807907
Silviandari, I. A., & Helmi, A. F. (2018). Bullying di tempat kerja di Indonesia. Buletin Psikologi, 26(2), 137-145. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38028
Andayani, S.W. (2022, Juni 23) Bullying di tempat kerja. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/
Namie, G. (2017). U.S. workplace bullying survey 2017. Workplace Bullying Institute. Tersedia secara daring di: https://workplacebullying.org/multi/pdf/2017/2017-WBI-US-Survey