Berita GKMI

Membangun dan Bertumbuh

| Rabu, 28 Februari 2024

Total tujuh puluh empat Hamba Tuhan GGKMI memadati ballroom Hotel Padma Semarang untuk mengikuti Konven Pendeta dan Pendeta Muda pada Selasa, 26 September 2023. Pdt. Rudiyanto membuka Konven ini dengan sebuah materi yang menarik untuk menjadi bahan diskusi dan evaluasi para pekerja Tuhan yang hadir.

Tema “Membangun dan Bertumbuh” Pdt. Rudi ulik sebagai dasar bahwa melalui Gereja, Kristus menghadirkan diri-Nya di dalam dunia. Menyapa umat manusia dengan Injil Perdamaian (Ef. 2:17; 6:15) dan mengedukasi Kuasa-kuasa agar berfungsi sebagaimana mestinya dalam pemeliharaan Allah (Ef. 3:10). “Kristus mengutus Roh Kudus untuk memberdayakan Gereja, sehingga Gereja dapat menyampaikan salam Kristus kepada umat manusia dan mengedukasi Kuasa-kuasa yang sudah ditentukan Allah untuk mengabdi kepada Kristus,” ujar Pdt. Rudi kepada para peserta konven.

Dalam diskursus ekklesiologi atau fungsi gereja untuk menjalankan misinya dalam dunia, karya Roh Kudus yang memberdayakan Gereja dipahami sebagai "pembangunan jemaat" (PJ) dan "pertumbuhan gereja" (PG). PJ menolong jemaat untuk berkembang menuju persekutuan iman sebagai perantara keadilan dan kasih Allah terhadap masalah manusia di masa kini. Sedangkan PG lebih kepada jumlah orang-orang yang diselamatkan. Secara ideal, PJ diharapkan bermuara pada PG, dan PG mendatangkan orang-orang yang akan menjadi subjek PJ. Keduanya merupakan karya bersama (Roh Kudus dan Gereja) dalam rangka menjalankan misi Gereja sebagai tanda kehadiran Kristus di dalam dunia. 

Panasnya udara Semarang di hari itu, yang mencapai 38 derajat celcius, tidak mampu mengalahkan panasnya diskusi yang berlangsung antar lima kelompok Hamba Tuhan yang terdiri dari berbagai macam PGMW ini. Ada 8 buah pertanyaan yang Pdt. Rudi ajukan untuk bisa menjadi bahan diskusi dan refleksi bersama. Para Gembala Jemaat, Pendeta, dan Pendeta Muda diajak untuk menggumuli PJ dan PG baik dari sisi normatif, sisi kontekstual, serta dinamikanya, melalui sharing pengalaman pelayanan masing-masing.

Kesimpulan dalam diskusi itu terbentuk setelah semua perwakilan kelompok maju satu per satu untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Pada pertanyaan pertama, mayoritas kelompok menjawab bahwa pembangunan jemaat jauh lebih kuat daripada pertumbuhan gereja di tempat mereka melayani. Hal ini mengacu pada kualitas jemaat yang dinilai jauh lebih utama daripada kuantitasnya. Konsep kolaborasi, sinergitas, dan partisipatif jemaat mempengaruhi pertumbuhan itu.

Poin kedua mempertanyakan tentang konsep eklesiologis yang diperkuat melalui misi-misi dalam kejemaatan, seperti pelayanan kepada anak-anak muda, jemaat dengan ekonomi rendah, juga potensi-potensi yang dimiliki oleh jemaat. Sedangkan poin ketiga mempertanyakan tentang visi para Hamba Tuhan bagi jemaat yang sedang mereka layani. Ada kelompok yang menjelaskan bahwa visi gereja muncul dari refleksi Hamba Tuhan yang mereka hidupi dan jalani sebelum mengajak jemaat untuk ikut serta. Ada juga yang memetakan kebutuhan di konteks lokal bergereja, tentang nilai-nilai apa yang mengakar kuat di sana; pergumulan bersama melalui berdoa, berpuasa, bermusyawarah; membuat program seperti pemuridan, KKR, dan 4M (mendata, mengunjungi, mendoakan, dan mengajak jemaat). Serta tentunya kerinduan untuk menjadi gereja yang berkualitas dalam hal pembangunan jemaat bagi pertumbuhan gereja.

Poin keempat mengajak para Hamba Tuhan untuk mengemukakan corak kontekstual di tempat mereka melayani. Mayoritas membagikan pengalamannya masing-masing dan sepakat bahwa nilai-nilai sosio-budaya, sistem wilayah, sumber daya manusia, pemahaman teologis yang berbeda bisa menjadi penghalang sekaligus penunjang pembangunan jemaat dan pertumbuhan gereja. Yang pasti, kekuatan dari GKMI adalah tentang kekeluargaannya. Sedangkan di poin kelima, para Hamba Tuhan menanggapi tentang penanganan ambiguitas sisi kontekstual pelayanan yang sedang mereka jalankan. Ada yang menyebutkan bahwa kekeluargaan harus diedukasikan kepada semua generasi, terutama jemaat Gen Z yang harus dirangkul ekstra karena merasa dikepoin jika dilakukan pendekatan. Ada pula yang berusaha untuk mengimplementasikan visi melalui langkah taktis dengan ketegasan otoritas Ilahi, bukan struktural. Oleh karena dibutuhkannya ketegasan dan ketajaman ketika Hamba Tuhan mencoba untuk mengimplementasikan visinya (1 Ptr. 2:9). Ambiguitas ini tentunya juga harus disikapi dengan damai, penuh dengan pengampunan, dan kasih. 

Pembangunan Jemaat dan Pertumbuhan Gereja tentunya akan tetap menjadi konsen dan juga harapan bagi gereja-gereja karena itu merupakan tugas dan panggilan Hamba Tuhan. Hal ini pun membawa tantangan tersendiri, seperti minimnya apresiasi. Tiada kata-kata peneguhan, anggapan bahwa Hamba Tuhan adalah seperti karyawan, jemaat yang silih berganti karena pindah tugas atau penempatan kerja, kemajelisan yang ruwet untuk memutuskan barang suatu hal, ekspektasi terlalu tinggi yang diberikan kepada Hamba Tuhan, bahkan Hamba Tuhan yang kurang inisiatif untuk mengupgrade diri, hingga tantangan budaya kejawen yang masih kental dianut.

Oleh karenanya, para Hamba Tuhan pun memberikan terobosan-terobosan untuk mengatasi permasalahan itu sebagai penutup dari bahan diskusi mereka. Terobosan yang menyesuaikan zaman dengan merangkul jemaat melalui pelayanan multimedia, mengadakan kegiatan informal yang terintegrasi. Firman Tuhan yang didialogkan bukan hanya disampaikan satu arah saja, penggunaan bahasa praktis bukan teologi sehingga pesan bisa tersampaikan dengan jelas kepada jemaat awam. Ada kelompok yang menyatakan bahwa GKMI harus kembali kepada semangat kebersamaan dan kekeluargaan seperti bagaimana perjalanan gereja mula-mula: senang berkumpul, makan bersama, berbagi dan sharing bersama. Gereja memetakan lewat SWOT serta menggeser kekakuan secara perlahan. Yang terutama, terobosan-terobosan ini tentunya digumuli dan lahir dari Tuhan, melalui doa yaitu sumber inspirasi untuk menerobos segala sisi. Diskusi ini pun ditutup dengan tepuk tangan yang riuh bagi kemuliaan Nama Tuhan.