Berita GKMI

Pahami Luka Diri sebelum Mengobati

| Sabtu, 23 September 2023

“Satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental,” kata hasil survei dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS)–survei kesehatan mental nasional pertama–yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja usia 10-17 tahun (ugm.ac.id, 2022). Data ini tentunya cukup mengejutkan, apalagi ditambah keterangan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan kecemasan (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), gangguan stres pasca-trauma (PTSD), serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.

Topik kesehatan mental tak ayal akan tetap menjadi suatu bahasan yang menarik dan aktual karena psikologis manusia berkembang secara dinamis sesuai dengan berjalannya kehidupan mereka. Data di atas setidaknya semakin meyakinkan kita bahwa kesehatan mental para remaja bahkan pemuda atau kelompok usia youth di komunitas gereja patut untuk menjadi perhatian bersama.


Sesuai dengan rekomendasi Youth Leader Summit 2022, bahwa gereja harus menjadi tempat aman dan nyaman untuk pemulihan (poin 1.a) dan gereja harus menyelenggarakan diskusi multidisipliner tentang isu kekinian (poin 2.b), maka diadakanlah Trauma Healing Workshop for Youth Pastor pada 1-2 Juni 2023, di Kayu Arum Resort Salatiga, Jawa Tengah. Workshop ini diselenggarakan oleh Sinode GKMI, bekerja sama dengan WIJNA/MCC (Mennonite Central Committee) Indonesia dengan tujuan untuk membantu para youth pastor dan pendamping youth GGKMI agar dapat berpartisipasi dalam proses pemulihan trauma di masa mendatang, terkhusus di gereja lokal masing-masing. Sebagai seorang pembimbing atau pendamping kaum youth, pengetahuan ini sangatlah dibutuhkan sebagai bekal dasar dalam mendampingi trauma yang adik-adik kita alami. Selain itu, selagi mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendamping, kita juga diingatkan kembali tentang kualitas pelayanan dan panggilan diri masing-masing.

“Tentu besar harapan agar para pembimbing ini dapat menjadi sahabat bagi generasi muda dalam menghadapi trauma mereka. Sehingga para korban bisa memiliki harapan untuk menjadi penyintas di kemudian hari. Bahkan mungkin ke depannya dapat menjadi penolong teman-temannya juga. Istilahnya menjadi the wounded healer, atau sang terluka yang menyembuhkan. Mereka bisa bersaksi bahwa God turned my scars into stars (Tuhan mengubah luka-lukaku menjadi bintang-bintang),” tutur Pdt. Em. Janti Diredja, Ketua Bidang Persekutuan Sinode GKMI dalam kata sambutannya.

Acara workshop berlangsung secara bertahap dan diikuti oleh 24 youth pastor atau pendamping youth dari 14 GGKMI, yaitu GKMI Filadelfia, GKMI Bukit Hermon, GKMI Kalimalang, GKMI Salatiga, GKMI Solo, GKMI Gloria Patri, GKMI Srumbung Gunung, GKMI Kasih Karunia Allah, GKMI Kudus, GKMI Kenari, GKMI Jepara, GKMI Mlonggo, GKMI Efata, dan GKMI Cabang Margorejo. Pada tahap pertama atau bagian pengenalan tentang trauma healing, acara dibuka dengan ibadah singkat yang dipimpin oleh duo MC, Kharis dan Michiko, serta renungan oleh Pdt. Endang Ayu. Dalam renungan yang diambil dari Matius 25:40, Pdt. Endang memberi tiga poin tahapan tentang cara menghadirkan diri bagi para korban trauma, yaitu: berempati; mendengarkan, menggumuli, mendoakan, ikut memikirkan; dan menjadi teman untuk berjalan bersama.



Mengenal akar dari sebuah trauma

Sesi pertama dan kedua dari workshop ini dibawakan oleh Ibu Adelina Anastasia Aipassa (Direktur CV. Mitra Keluarga Mandiri) atau yang lebih akrab disapa Bu Adel. Para peserta diajak untuk berkenalan dengan berbagai macam penyebab trauma yang ada dalam diri seseorang. Salah satunya adalah inner child, sikap/sifat kekanakan yang ada dalam diri seseorang atau bagian dari diri kita yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap menjadi anak-anak. Hal yang terbentuk dari pengalaman positif maupun negatif saat masih kanak-kanak (usia 0-18 tahun), baik itu pengalaman yang membahagiakan maupun yang traumatis/penuh konflik. Jenis-jenis luka inner child yang bisa ditemui dalam sikap/sifat seorang dewasa pada masa kini, serta tips-tips cara berdamai atau memutus rantai inner child. 

Bu Adel pun mengajak para peserta untuk melantunkan sebuah lagu dari penyanyi Indonesia, Tulus “Diri” yang menggambarkan situasi bagaimana cara memulihkan diri sendiri. “Hari ini kau berdamai dengan dirimu sendiri, kau maafkan semua salahmu, ampuni dirimu. Hari ini ajak lagi dirimu bicara mesra, berjujurlah pada dirimu kau bisa percaya. Maafkan semua yang lalu, ampuni hati kecilmu.”

Materi selanjutnya, Bu Adel menerangkan tentang luka batin atau rusaknya relasi antara diri dengan diri sendiri, diri dengan orang lain, dan diri dengan Tuhan. Jika inner child dan atau luka batin tetap dipelihara, ditambah dengan tidak adanya resiliensi pada luka dan berbagai masalah lainnya hal ini bisa berdampak pada kesehatan mental yang berujung depresi. Bu Adel pun mengajak para peserta untuk mengingat 3 gejala utama depresi: afek depresif, kehilangan minat, mudah lelah. Ada pula 7 gejala lainnya, seperti menurunnya konsentrasi, menurunnya harga diri dan kepercayaan diri, menurunnya nafsu makan, rasa bersalah dan tidak berguna, masa depan yang suram, tidur terganggu, hingga ingin bunuh diri. Butuh waktu sekitar dua minggu untuk mengamati apakah perilaku orang tersebut menunjukkan gejala-gejala depresi secara konstan untuk melakukan diagnosis.

Sebagai seorang pengikut Kristus, Bu Adel pun mengajak kita untuk harus melakukan pengampunan karena Yesus sudah mengajarkan, memberi contoh, dan memerintahkan hal itu kepada kita. Meskipun ada kalanya pengajaran teologis tidak selalu satu paham dengan psikologis, seperti celetukan berikut, “Saya tidak sepakat dengan lirik lagu rohani, ‘...mengampuni dan melupakan,’ menurut saya itu pencipta lagunya hanya berpikir teologis, bukan psikologis. Karena pada praktiknya, melupakan sebuah luka itu adalah hal yang mustahil. Meskipun kita sudah mengampuni, secara psikologis manusia, kita tidak mungkin bisa melupakan hal itu,” terang Bu Adel, yang langsung disetujui oleh beberapa peserta, termasuk saya. 

Sesi ini pun ditutup dengan tanya jawab tentang kegelisahan para pendamping/youth pastor. Satu topik yang menurut saya menarik untuk digarisbawahi adalah tentang perbedaan lapisan generasi dalam berjemaat. Bahwa mengatasi masalah para remaja harus melalui pendekatan emosional terlebih dahulu, bukan melalui pendekatan rasional. Dan Bu Adel memberi tips untuk mengajak para peserta memahami kebutuhan serta kebiasaan tiap-tiap generasi, terutama X, Y, dan Z. “Jadilah jembatan bagi tiap generasi,” pesannya.


Mengenal diri sendiri terlebih dahulu

Setelah istirahat sebentar dan menikmati coffee break, sesi berikutnya dilanjutkan oleh Ibu Ani Widjaja (trainer, coach, konselor, expert of Points of You Indonesia). Kali ini, para peserta dibagikan masing-masing sebuah kertas untuk sarana mengenal diri mereka lebih dalam lagi. Bu Ani menjabarkan tentang Johari Window, sebuah teknik komunikasi terbuka untuk bisa saling meningkatkan kesadaran dan pemahaman satu sama lain. Setiap dari peserta pun diminta untuk menuliskan Johari Window-nya yang berupa empat poin, yaitu open self atau sisi diri yang diketahui oleh saya dan orang lain; blind self atau sisi diri yang tidak diketahui oleh saya tapi diketahui oleh orang lain; hidden self atau sisi diri yang saya ketahui tapi tidak diketahui orang lain; dan unknown self atau sisi diri yang tidak saya dan orang lain ketahui.

Setelahnya, peserta juga diminta untuk mengisi kolom hal-hal positif dan negatif yang dimiliki oleh orang tua masing-masing, lalu pasangan mereka (jika punya). Sebuah pertanyaan tentang, “Apakah ada perkataan atau tindakan dari orang tua/pasangan/orang lain yang Anda ingat yang membuat Anda merasa tidak nyaman?” serta dua buah kolom tentang kekhawatiran dan keinginan. Semua pertanyaan ini memiliki tujuan untuk mengekspresikan dan merefleksikan apa yang sedang para peserta alami serta rasakan. Bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sebuah tools (alat) yang bisa kita aplikasikan untuk mengetahui tentang diri seseorang. Apakah mereka memiliki trauma? Luka batin? Pengalaman yang tidak menyenangkan dengan orang tua/pasangannya? Apakah memiliki gambaran tentang masa depannya? Dan Bu Ani pun berharap agar tools ini bisa para peserta praktikkan bagi anak-anak yang mereka dampingi.

Malam harinya, para peserta diajak untuk menikmati santap malam bersama di Cindy’s Kitchen yang terletak tak jauh dari tempat penginapan. Sebuah sajian live music juga turut menemani dinginnya udara malam di Salatiga. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh para peserta untuk bercengkrama dan mencairkan suasana dengan bernyanyi bersama.


Menjadi pendamping bagi mereka yang membutuhkan kekuatan

Di hari kedua, setelah sarapan, Bu Ani kembali melanjutkan sesinya dengan materi pendampingan psikospiritual kepada orang yang memiliki penyakit mental. Mengingatkan kepada para peserta bagaimana menjadi seorang pendamping psikospiritual yang baik, yaitu dengan memiliki pemahaman tentang penyakit mental; memiliki empati dan kepekaan; fleksibel dan adaptif; mampu dipercaya dan mudah menjalin relasi; mampu berkomunikasi efektif; mampu mengelola diri sendiri; mampu menjaga kerahasiaan; mampu berjejaring; update dan upgrade dalam belajar; serta terampil dalam menggunakan pendekatan psikologi dan spiritual.


Setelahnya, Bu Ani mengajak para peserta untuk maju satu per satu mengambil sebuah kartu tes psikologi dan merefleksikannya dengan kartu pertanyaan yang masing-masing peserta sudah dapatkan pada akhir dari sesi kemarin. Selang beberapa menit, peserta mulai membagikan refleksi tentang pelayanan mereka yang bersinggungan dengan kedua hasil perolehan kartunya. Saya sendiri mendapat sebuah kartu dengan pertanyaan, “What is it time to part for (Apa itu waktu untuk berpisah)?” dan kartu bergambar karakter yang sedang merenung bersedih dengan sebuah keterangan “self-pity” (mengasihani diri sendiri). Sampai ketika saya menyelesaikan artikel ini, ada banyak tafsiran refleksi yang bisa saya ungkapkan dari berbagai sudut pandang.

Sudah mendapat berbagai bekal dari kedua pemateri, kini saatnya para peserta untuk melakukan bakti sosial ke Panti Asuhan Bhakti Luhur Salatiga. Di sana, kami bertemu dengan suster kepala panti, para perawat, dan orang-orang binaan yang semuanya memiliki keterbatasan mental. Selain memberikan bantuan dan persembahan kasih, panitia pun mengajak kami untuk bebas bersosialiasi dengan mereka selama 30 menit. Ada yang langsung berbincang dengan suster kepala, dengan para perawat, bahkan dengan orang-orang binaan panti yang rentang usianya mulai dari balita hingga lansia. Selain berbagi cerita, canda dan tawa juga tersemat di perjumpaan singkat itu. 

Sekembalinya ke penginapan dan makan siang, ibadah penutupan pun dilangsungkan. Doa penutup dipanjatkan oleh Pdt. Em. Janti Diredja sebelum saatnya untuk berpisah kembali ke kota masing-masing, melanjutkan dan mengaplikasikan ilmu yang sudah diperoleh bagi pelayanan di gereja tempat di mana Tuhan percayakan. 

Selamat berkarya dalam mendampingi kaum muda! Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya.