Berita GKMI

Haruskah Kita Berbahasa Roh?

| Kamis, 17 November 2022

Hingga sekarang, karunia berbahasa roh masih diperdebatkan oleh sebagian orang. Ada yang menganggap bahwa ini adalah syarat khusus menjadi pengikut Kristus sejati, ada juga yang menganggapnya sebuah karunia spesial di mana tidak setiap orang Kristen bisa memilikinya. Mengacu pada 1 Korintus 14, bagaimanakah pendapat jemaat GGKMI akan hal ini?


Abraham Silalahi - GKMI Sempakata

Karunia roh memang benar adalah salah satu karunia yang diberikan oleh Allah, namun karunia roh bukanlah karunia yang lebih diunggulkan daripada karunia-karunia lainnya dan tidak lebih besar tingkatannya. Karunia Roh sebaiknya dipakai apabila ada orang yang memiliki karunia menafsirkan bahasa Roh karena apabila tidak bisa ditafsirkan maka akan sangat tidak efisien bahkan dapat menyesatkan jemaat apabila melakukannya.

Jelas tertulis pada 1 Korintus 14:28, “Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.” Jadi, bukan tidak boleh berbahasa Roh namun harus dipahami bahwa bahasa Roh bukanlah hal yang harus diagung-agungkan dan digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi gereja. Tidak perlu juga memaksa orang lain untuk bisa berbahasa Roh.


Ruth Anneke (Natanael) - GKMI Ark of Worship

Bagi saya, karunia bahasa Roh memang ada dan merupakan suatu alat dari Tuhan untuk menguatkan kita maupun mengkonfirmasi sesuatu. Itu yang saya alami. Panggilan pelayanan yang saya terima dari Tuhan dan saya gumulkan dalam doa, dikonfirmasi oleh Tuhan dengan mengubah doa saya menjadi bahasa Roh yang dalam hal ini berupa bahasa Aram, karena saya mengatakan "Abba" berkali-kali dan saya juga menyanyikan lagu. Besoknya saya cari di YouTube dan ketemu, lagu Doa Bapa Kami dalam bahasa Aram. Persis yang saya nyanyikan itu, padahal saya tidak tahu bahasa Aram. Gambarnya tangan berdoa. Jadi saya yakin itu cara Tuhan. Setelah itu juga beberapa kali saya mendapatkan konfirmasi seperti ini. 

Perlu diketahui, saya bukan orang yang biasa berbahasa Roh dan bisa seenak sendiri berubah dari bahasa Indonesia ke bahasa Roh dan sebaliknya. Saya tidak setuju kalau ada Pendeta yang menganjurkan untuk "harus" berbahasa Roh. Mereka bilang, “Kalau tidak bisa, ya katakan saja ‘da da da da’ atau yang lainnya lagi. Nanti lama-lama bisa.” Menurut saya itu tidak benar. Suatu "karunia" tidak bisa kita paksakan, itu pemberian Tuhan, suatu kemurahan dari Tuhan.