Berita GKMI

Biarkan Anak-anak itu Datang kepada-Ku

| Sabtu, 23 September 2023

“Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ.” (Matius 19: 13-15)


Di ayat 14 yang telah kita baca, Yesus berkata, "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku….” Kepada siapa Yesus mengatakan demikian? Dalam konteks ayat, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya yang menghalang-halangi, mencegah, bahkan memarahi orang-orang yang membawa anak-anak datang kepada-Nya. Dalam konteks yang lebih luas, saya mengilhami bahwa Yesus berkata kepada kita semua sebagai orang tua,“Janganlah menghalang-halangi anak-anak datang kepada-Ku!”


Mungkin kita bertanya-tanya, “Bagaimana saya menghalangi anak-anak saya datang kepada Tuhan?” Pembaca, bukan kebetulan bulan Juli ini adalah Bulan Keluarga bagi keluarga besar GGKMI di mana pun berada. Demikian pula Hari Anak Nasional jatuh tepat pada 23 Juli. Tema bGKMI di bulan Juli ini pun adalah tentang bullying atau kekerasan dan penindasan.


Pernahkah kita berpikir bahwa mengabaikan kebutuhan anak-anak, juga merupakan suatu bentuk kekerasan dan penindasan? Ya, The National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), sebuah lembaga perlindungan anak asal Inggris, menetapkan bahwa mengabaikan kebutuhan anak, termasuk di dalamnya kebutuhan emosional, yaitu kedekatan kepada orang tuanya dan juga kebutuhan religius-spiritualitasnya, juga termasuk ke dalam sebuah bentuk kekerasan atau penindasan (violence/abuse).


Lantas, apa yang harus kita lakukan? Pertama, dengan menjadi pribadi yang hadir bagi anak-anak kita. Izinkan saya bertanya terlebih dahulu: Dari siapakah anak pertama-tama membentuk figur Tuhan di dalam dirinya? Dari kedua orang tua mereka. 


Jane R. Dickie dan kawan-kawan dalam paper Parent-Child Relationships and Children's Images of God” membandingkan beberapa studi, dan menyimpulkan bahwa persepsi anak-anak tentang Tuhan dibentuk dari persepsi mereka tentang orang tua mereka, terutama figur ayah. Singkatnya, di alam bawah sadar, anak-anak berpikir bahwa “Tuhan adalah seperti ayahku”. Bagaimana dengan anak-anak yang dibesarkan single mother? Teman saya yang dibesarkan oleh single mother menjawab demikian, “Tuhan itu yo koyok Simbokku (ya seperti Ibuku)!” 


Sadarkah kita betapa signifikannya hal ini? Tidak heran saat ini banyak anak-anak generasi Z dan alpha menjadi ateis. Salah satunya bisa jadi karena relasi mereka dengan orang tuanya hambar, kaku, berjarak, dan tidak harmonis. Orang tua mereka tidak hadir, tidak eksis, absen, tidak berada di samping mereka, ketika mereka tengah bergumul dalam kehidupan mereka. 


Elon Musk adalah salah satu contoh dalam kehidupan nyata. Pendiri SpaceX, Tesla Motors, dan Hyperloop ini menyatakan bahwa ayahnya, Errol Musk, adalah teknisi yang cerdas tetapi manusia yang bejat. Maye Musk, ibu dari Elon, menyebut suaminya sebagai seorang yang “manipulatif dan kasar, baik secara fisik, keuangan, dan emosional”. Elon menetapkan dirinya sebagai seorang ateis di usia 15 tahun.


Kapan terakhir kita memiliki waktu kebersamaan dengan anak? Saya kurang setuju dengan kata-kata, “Ah, meski secara kuantitas waktu nggak banyak, yang penting berkualitas”, karena dalam hal relasi, kuantitas menjadi indikator dari kualitas. Kita tidak bisa berkata kita cinta dan perhatian tanpa memberikan sebagian besar waktu kita kepada anak-anak kita. Alokasikan waktu, jangan memberikan waktu-waktu dan tenaga-tenaga sisa kepada anak, kalau memang mereka penting di hati kita. 


Ngobrollah, meski bukan obrolan yang penting dan hanya ngobrol ngalor-ngidul. Bercandalah, kenallah mereka. Apa makanan dan musik kesukaan mereka? Siapa idola mereka? Siapa teman-teman mereka? Dengarkanlah kesulitan-kesulitan mereka, sekecil apapun, anggaplah itu sangat serius dan penting. Hadirlah sehadir-hadirnya bagi mereka. Kelak demikian pulalah mereka akan mengenal Tuhan sebagai Tuhan yang hadir, yang dekat, yang mengenal mereka, dan yang mencintai mereka.


Kedua, kita tidak menghalang-halangi anak-anak untuk datang kepada Tuhan dengan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar. Karenanya, Yesus berkata pula di Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.” 


Jangan memasrahkan pengajaran Firman Tuhan kepada para pembimbing di Komisi Anak. Justru kita sebagai orang tua adalah pengajar Firman Tuhan yang pertama dan terutama, karena dari kitalah mereka melihat contoh dan praktik-praktik nyata dari iman. Dari kitalah mereka belajar fundamen dan prinsip-prinsip dasar dari iman. Mau nyuruh anak berdoa atau baca Firman Tuhan? Kalau begitu kitalah yang harus lebih dulu berdoa dan membaca Firman Tuhan dengan tekun dan sungguh-sungguh!


Mengenai kesetiaan beribadah, saya pun tidak lelah-lelahnya berkata: anak-anak kita–apalagi dalam konteks perkotaan–nggak bisa datang sendiri ke gereja. Mereka bergantung kepada kita sebagai orang tua. Kitalah “kaki” mereka. Kalau kita sendiri jarang datang ke gereja, bagaimana dengan mereka? Saya selalu terberkati dengan kisah salah seorang eyang putri yang dengan setia menjemput cucu-cucunya ke gereja. Katanya, “Ya kalo bukan saya, siapa lagi, Bu Gracia?”


Hal terutama yang juga ingin saya tekankan dalam kesempatan ini, jadilah contoh yang baik dalam kesesakan. Saat keluarga kita berada dalam masalah, jadilah tegar dan kuat. Ayo bangkit! Ingat, anak-anak kita sedang memperhatikan kita, sedang belajar dari kita. Jika sebagai orang tua, kita terus berjuang, terus berharap kepada Tuhan di dalam masalah yang kita hadapi, maka anak-anak kita akan mendapat pembelajaran yang sangat berharga. Kelak mereka juga akan menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah, penuh juang, dan penuh harapan dalam Tuhan.  


Jangan sampai kitalah yang justru melakukan kekerasan dan penindasan kepada anak-anak kita dengan menghalang-halangi mereka untuk datang kepada Tuhan. Melainkan, ajaklah anak-anak kita datang kepada Tuhan! Saya mengundang para orang tua yang membaca tulisan ini untuk melakukan komitmen ulang, sebagai orang tua, menjadi pribadi yang dekat dengan anak-anak kita, dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar. Niscaya mereka kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang dekat dengan Tuhan, dan berjalan di jalan yang benar. Amsal 22: 6 menuliskan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” 


Penulis: Pdm. Gracia Lina