Kekuatan di dalam Doa
Kata “doa” atau “berdoa” pernah menjadi kata yang paling saya benci di masa kecil saya. Mengapa? Karena kata tersebut sering menjadi jawaban papi saya pada saat menanggapi berbagai permintaan saya di masa kecil. “Papi, saya perlu sepatu baru karena sepatu saya sudah rusak,” kataku, dan jawaban papi, “Kamu berdoa ya, saat ini papi belum ada uang.” Di lain waktu, saya mengeluh, “Papi, saya perlu tas baru, tas saya sudah rusak berat.” Lagi-lagi jawaban papi saya senada seirama dengan yang sudah-sudah, “Kamu berdoa ya, papi belum ada uang. Sabar ya.” Terlalu sering rasanya jawaban serupa saya dengar dari mulut papi yang notabene seorang Pendeta itu, hingga bosan dan jengkellah saya mendapat jawaban demikian tiap kali meminta sesuatu kepada beliau. Dalam hati saya berkata, “Huh, emangnya kalau sudah berdoa, uang akan jatuh dari langit?”
Namun, seiring bertambahnya usia, di masa-masa remaja saya, saya pun mulai tergerak untuk setidaknya mencoba mempraktikkan nasihat papi saya itu. Saya mulai berdoa sungguh-sungguh, meskipun sebatas kalau sedang kepepet. Herannya, pada saat-saat itulah saya mendapatkan pengalaman-pengalaman rohani yang menumbuh-kembangkan iman saya. Tak jarang Tuhan mencelikkan mata hati saya akan keberadaan-Nya, akan kehadiran-Nya, akan kasih dan kuasa-Nya dengan cara yang menurut saya ajaib. Bahkan, berulang kali Tuhan menjawab doa saya secara instan ketika dalam keadaan terjepit saya berdoa dengan sungguh-sungguh. Dalam masa-masa itulah saya mulai mengenal kekuatan doa.
Apakah doa atau berdoa itu?
Dalam pemahaman saya, doa atau berdoa secara sederhana adalah curhat alias mencurahkan isi hati kepada Allah. Awalnya memang cenderung hanya di saat-saat kepepet dan melulu berisi permintaan tolong kepada Bapa di surga perihal kebutuhan yang sedang mendesak dan ketika saya tidak berdaya. Lama-kelamaan pemahaman saya tentang doa semakin bertumbuh. Saat saya menyadari akan segala kebaikan Tuhan, doa saya berisi ucapan syukur dan terima kasih kepada-Nya. Saat hati saya takjub akan kuasa dan kasih-Nya, doa saya pun berisi puji-pujian kepada-Nya. Kala hati gundah, resah, dan gelisah, doa saya terisi pula berbagai ungkapan keluh-kesah saya kepada Allah.
Seiring dengan semakin dewasa usia dan iman, doa saya mulai meluas kepada kebutuhan-kebutuhan orang atau pihak lain. Saat saya melihat kebutuhan orang atau pihak lain, curahan isi hati saya kepada-Nya juga mulai berisi permohonan-permohonan bagi kebutuhan orang atau pihak lain. Tetapi pada hakikatnya, dalam pemahaman saya, berdoa adalah mencurahkan isi hati kepada Allah Bapa di surga.
Mengapa berdoa itu penting?
Ketika kita berdoa, sesungguhnya kita sedang berhubungan dengan Allah, Sang Sumber Kehidupan. Kita bisa memulai hubungan dengan Allah, semata-mata oleh karena Allah menganugerahkan iman di hati kita, yang membuat kita percaya bahwa Ia sungguh-sungguh ada. Salah satu bentuk hubungan di antara dua pribadi adalah adanya interaksi. Kita berbicara mencurahkan isi hati kita kepada Allah, dan Allah berbicara kepada kita melalui firman dan pimpinan Roh Kudus di hati kita. Dengan berdoa, kita selalu terhubung dengan Allah, Sumber Kehidupan kita.
Dalam buku nyanyian PPR 1, terdapat sebuah kidung indah yang merupakan terjemahan nyanyian hymnal berbahasa Inggris, “Sweet Hour of Prayer”. PPR 1 nomer 150, mengungkapkan indahnya jam atau saat berdoa, yang menegaskan pentingnya berdoa. Bait pertama dari kidung itu berbunyi:
Indahnya saat berdoa, lepaslah semua bebanku
Menghadap hadirat Tuhan, isi hati ‘ku curahkan
Di waktu bimbang dan gentar datanglah sinar yang terang
Penggoda pun tak berkuasa, di saat aku berdoa
Pada bait pertama ini kita dapat melihat bahwa berdoa merupakan tanggapan kita atas panggilan Sang Juruselamat kita, Tuhan Yesus Kristus, “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepada-Mu.” (Mat 11:28). Di sini kita dapat melihat bahwa berdoa merupakan cara orang beriman melepaskan semua beban beratnya kepada Tuhan yang telah berjanji memberikan kelegaan.
Kita juga diingatkan akan nasihat Tuhan Yesus kepada para murid-Nya di Taman Getsemani menjelang penangkapan-Nya, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah,” (Mat 26:41). Di tengah pencobaan, kita bisa menjadi bimbang dan gentar. Iblis, Sang Pencoba atau Si Penggoda berupaya menyesatkan dan menjatuhkan kita. Namun dengan berdoa, kita aman oleh karena pada saat itu kita justru sedang berhubungan dengan Allah Yang Mahakuasa, Pelindung dan Penolong kita, yang sangat ditakuti oleh Iblis.
Bait kedua dari kidung tersebut berbunyi:
Indahnya saat berdoa, memberi damai bahagia
Betapa rindu hatiku mananti sinar cah’ya-Mu
Tempat berdoa ‘ku tuju, menyongsong Juruselamatku
‘ku harap nampak wajah-Nya, di saat aku berdoa
Bait yang kedua ini mengingatkan kita akan berkat imamat Israel, yang menyatakan bahwa sinar wajah Tuhan atas umat-Nya menghadirkan kasih karunia dan damai sejahtera. Di sini ditunjukkan bahwa saat berdoa adalah saat di mana kita dapat menikmati limpahan kasih karunia dan damai sejahtera dari Tuhan, Allah kita.
Bait yang ketiga berbunyi:
Indahnya saat berdoa, pengantar puji dan pinta
Kepada Tuhan yang setia dan bersedia mendengar
Kuyakin pada firman-Nya, percaya akan kasih-Nya
Dan menyerahkan bebanku di saat aku berdoa
Isi dari bait ketiga ini menjelaskan hakikat berdoa, yaitu sebagai wahana mencurahkan isi hati kepada Tuhan, yaitu Pribadi yang Mahakuasa dan Mahakasih, yang bersedia untuk senantiasa mendengar seruan umat-Nya, baik berupa pujian maupun permohonan. Melalui bait ketiga ini, kita diingatkan akan doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yang kita kenal sebagai “Doa Bapa Kami” (Mat. 6:9-13). Dalam doa tersebut, kita diajarkan untuk memuji dan memuliakan Allah, Bapa kita, di samping kita mengajukan permohonan-permohonan kita kepada-Nya.
Selain itu, bait ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa pada saat kita berdoa, sesungguhnya kita sedang belajar untuk percaya penuh akan firman dan kasih Allah, yang berarti berdoa itu berujung pada ketaatan, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, Bapa kita. Ini mengingatkan kita akan teladan Tuhan Yesus sendiri ketika Beliau berdoa, setelah mengajukan permohonan kepada Bapa-Nya, Beliau mengakhiri doa-Nya dengan kalimat, “…jadilah kehendak-Mu!” (Mat. 26:42). Jadi, berdoa itu penting, sebab melalui doa yang benar, kita mengalami pertumbuhan iman, yang dinyatakan dengan makin bertumbuhnya kepercayaan kita kepada Firman Allah dan kasih serta kuasa-Nya dengan wujud kerelaan kita untuk taat kepada kehendak-Nya.
Sebuah teladan doa
Dalam kitab 2 Tawarikh 20, terdapat kisah yang sangat menarik tentang pengalaman iman Yosafat, raja Yehuda, dalam hal berdoa.
Alkisah pada suatu ketika, kerajaan Yehuda yang kala itu dipimpin oleh Yosafat sebagai rajanya, diserbu oleh tiga kekuatan negara tiga negeri, yaitu Moab, Amon, dan Meunim (Edom). Saat berita penyerbuan itu sampai kepada Yosafat, dicatat bahwa Yosafat menjadi takut (ay. 3). Ketakutan Yosafat dapatlah dimengerti, mengingat situasi yang terjadi sangatlah mengancam negerinya.
Namun, yang menarik adalah cara Yosafat menghadapi situasi tersebut. Alkitab mencatat, “Yosafat menjadi takut, lalu mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa. Dan Yehuda berkumpul untuk meminta pertolongan dari pada Tuhan. Mereka datang dari semua kota di Yehuda untuk mencari Tuhan,” (ay. 3-4). Yosafat berdoa dan berpuasa. Ia juga mengajak seluruh bangsa Yehuda. Mereka curhat kepada Tuhan tentang ancaman yang membuat mereka takut dan gentar.
Saat Yosafat memutuskan untuk mencari Tuhan, itu menunjukkan bahwa ia orang beriman. Namun ia toh punya rasa takut. Namun, pada saat ia berdoa, imannya bertumbuh. Sebagian dari kalimat doanya berbunyi, “Karena kami tidak punya kekuatan untuk menghadapi laskar yang besar ini yang datang menyerang kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu,” (ay. 12). Dalam keadaan takut, dalam keadaan tidak berdaya, dalam situasi bingung, iman Yosafat diteguhkan dan bertumbuh sehingga ia tetap menunjukan matanya kepada Tuhan.
Tuhan menjawab doa Yosafat dan seluruh Yehuda melalui hamba-Nya Yahaziel bin Benanya yang menubuatkan kemenangan Yehuda atas musuh-musuhnya oleh pertolongan Tuhan sendiri (ay. 14-17). Iman Yosafat makin bertumbuh. Ia percaya penuh kepada firman itu. Bahkan keesokan harinya, ia sendiri menyerukan kepada bangsanya, sebuah seruan iman yang luar biasa, “Dengar, hai Yehuda dan penduduk Yerusalem. Percayalah kepada Tuhan, Allahmu, dan kamu akan tetap teguh! Percayalah kepada nabi-nabi-Nya, dan kamu akan berhasil!” (ay. 20).
Lebih luar biasa lagi ketika Yosafat mengambil langkah iman yang berikutnya. Dalam menghadapi peperangan itu, ia membentuk kelompok orang untuk menyanyi dan memuji Tuhan untuk mengantar pasukan maju berperang. Nyanyian yang dikumandangkan adalah nyanyian syukur, bunyinya, “Nyanyikanlah nyanyian syukur bagi Tuhan, bahwasannya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” (ay. 21). Lazimnya ucapan syukur diungkapkan setelah keberhasilan dicapai. Namun iman Yosafat menuntunnya untuk mengajak umat Tuhan menyanyikan nyanyian syukur justru sebelum kemenangan diraih, bahkan ketika perang belum dimulai.
Hal yang luar biasa pun terjadi, “Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, dibuat Tuhanlah penghadangan terhadap bani Amon dan Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah,” (ay. 22). Peristiwa ini menunjukkan kekuatan doa yang sungguh-sungguh, yaitu doa yang lahir dari iman yang sejati amatlah dahsyat.
Mungkin pada awalnya iman yang melahirkan dorongan untuk berdoa itu kecil. Namun seiring kita mau sungguh-sungguh berdoa, kita terhubung langsung dengan Allah yang Mahakuasa, yang makin menumbuhkan dan meneguhkan iman kita. Dengan iman itu, kita percaya penuh kepada-Nya, maka niscaya kekuatan doa itu mewujud nyata oleh karya Allah yang Mahakuasa. Marilah kita tekun berdoa!
-Pdt. Moses David Livingstone-