Berita GKMI

Lost and Found

| Jumat, 18 Agustus 2023

Bacaan: Lukas 15:11-32

“Hilang dan kembali" adalah bagian dari perjalanan hidup setiap manusia, tidak peduli apakah ia anak nakal, ibu rumah tangga, bapak yang nampaknya setia, tokoh masyarakat atau alim ulama. Hampir semua orang pernah “terhilang” dan berusaha untuk “ditemukan” atau menemukan kembali jalannya untuk pulang. Mengapa saya katakan “ditemukan”? Karena sebagian besar tidak tahu cara jalan pulang. Ketersesatannya terlalu jauh, malu untuk pulang, dan tentu saja takut penolakan.

Kisah anak yang hilang ini mengajak kita untuk pulang dan diterima saat kembali pulang. Pergumulan untuk pergi tidak diceritakan panjang, hanya dua ayat saja, yakni 12 dan 13.  Keinginan untuk pergi itu memang tidak memerlukan pikiran yang panjang, karenanya seringkali disebut dengan khilaf. Datangnya cepat, namun efeknya bisa berkepanjangan.

Banyak orang menjadi heran dan bertanya, “Kok bisa, ya? Padahal kita mengenalnya sebagai orang yang baik, suami yang setia. Tidak pernah neko-neko sepanjang hidupnya, tapi kok bisa ya, pergi meninggalkan istrinya?”

"Kok bisa, ya? Si bungsu ini kan hidup dalam keluarga yang baik. Ayah yang penuh kasih, adil, dan tak pernah membentaknya, apalagi memukulnya. Kakaknya juga sangat sayang dengan dia. Kekayaan melimpah. Mengapa dia bisa meminta semua haknya dan pergi meninggalkan rumah dan ayahnya?" Itulah pertanyaan yang kerap kali kita dengar saat mendapati dalam orang yang kita pandang baik dan terhormat tiba-tiba mengalami perubahan dan menghilang dari tempatnya. Hati yang dekat, tiba-tiba berjarak sangat jauh. Kok bisa, ya?

Saudara, ada 3 hal yang biasanya menjadi penyebab seseorang terhilang dari jalan imannya. 

Pertama, tawaran yang menggiurkan akan adanya kehidupan yang lebih menjanjikan di luar sana. Kemudahan, kenikmatan, kekayaan dan kesuksesan ditawarkan secara instan. Walau tawaran ini nampak too good to be true (terlalu bagus untuk menjadi kenyataan), tetapi dengan testimoni yang meyakinkan, pastilah akan menggoda untuk dicoba. Dan gejolak untuk mencobanya itu terlalu kuat. Memang apa yang dilarang itu malah menarik untuk didekati, dicoba dan dibuktikan. Apakah ini sekadar keingintahuan atau ini memang naturnya manusia untuk melanggar aturan? 

Coba kita bandingkan dengan Hawa di taman Eden. Hanya ada satu pohon yang buahnya dilarang untuk dimakan. Tetapi larangan tersebut malah menimbulkan ketertarikan. Elok dipandang, menarik hati karena memberi pengertian (Kej. 3:6). Memberi pengertian di sini artinya memberi pengalaman dan sensasi yang baru. Jika rasanya sama dengan yang lain, tidak ada sesuatu yang baru, lalu untuk apa dicoba? Tetapi karena tawaran dibungkus dengan sensasi baru, maka Hawa mencoba dan jatuh. Kemudian, Adam ikutan mencoba dan jatuh. Si bungsu  pergi ke negeri yang jauh untuk mencobanya dan jatuh. Tidak sedikit dari kita ikut mencoba dan jatuh. 

Kedua, tantangan. Ada orang yang memang suka dengan tantangan karena bosan dengan zona nyaman. Tantangan itu diyakini membuka peluang dan membawa pertumbuhan. Tanpa tantangan, hidup tak menarik untuk diperjuangkan. Ada dua hal yang membuat orang selalu tidak puas, yakni perbandingan dan persaingan. Terkadang ini terjadi bukan dari keinginan diri sendiri, tetapi dari dorongan orang lain.

Apa yang membuat Saul berubah dari raja yang baik menjadi raja yang tidak benar di mata Allah? Orang-orang meneriakkan kalau Saul mengalahkan beribu-ribu musuh tetapi Daud berlaksa-laksa. Maka panaslah hati Saul karena perbandingan dan persaingan itu. Sejak saat itu Saul mulai terhilang. Siapa yang tercantik dari semua? Siapa yang layak disebut sultan? Dari tantangan yang tidak sehat, tipu daya dunia akan membawa orang pada ketersesatan yang makin jauh di negeri yang jauh.

Ketiga, ketamakan. Tamak ini tidak hanya dalam hal kekayaan, bisa juga mewujud dalam kehausan akan pujian, sanjungan, kenikmatan dan jabatan. Alkitab menyebutnya sebagai hawa nafsu yang jahat (Yak. 4:1-3). Orang yang tamak pasti akan mengejar keinginannya, kemudian keinginan itu bertambah hingga tiada batasnya. Bahkan dapat mencapai titik di mana agama dan moral tidak lagi penting. 

Itulah tiga alasan umum yang membuat seseorang yang baik hidupnya, keluarganya, komunitasnya, tiba-tiba bisa terhilang dan berubah menjadi orang yang membenci kebenaran dan menjauhi kebaikan. Seolah ia ada di negeri yang sangat jauh. 

Puji Tuhan, kisah di Injil Lukas ini tidak berhenti pada anak yang hilang. Injil Lukas lebih banyak mengisahkan proses kembalinya si anak yang hilang ke rumah Bapanya. Dia hilang dalam paparan 2 ayat saja (12 dan 13), namun proses kembalinya dari keterhilangan itu memerlukan uraian 19 ayat. Ini membuktikan bahwa proses seseorang bisa kembali ditemukan itu tidak mudah. Ibarat gelas yang jatuh pecah, terjadi dalam sekejap, namun proses penyatuannya memerlukan waktu yang panjang dan tidak mudah. Perlu kesabaran dan anugerah kasih dari Tuhan sendiri.

Ada 3 cara yang biasanya dipakai oleh Tuhan untuk menarik kembali anak-Nya pulang.

Pertama, kehilangan. Tuhan izinkan kita mengalami kehilangan demi kehilangan. Kehilangan harta, kehilangan teman, kehilangan keluarga, kehilangan kesehatan dan kehilangan damai sejahtera. Adam dan hawa baru sadar ketika mereka telanjang. Semua hilang dan diambil dari padanya, bahkan mereka harus kehilangan taman Eden rumah mereka. Mereka harus memulai hidup mereka yang baru dengan berpeluh dan kesakitan. 

Banyak testimoni orang bertobat ketika semua yang dimilikinya telah hilang satu demi satu. Dan kehilangan yang paling mengerikan adalah kehilangan damai sejahtera. Sebab orang yang kehilangan damai sejahtera (walaupun masih punya harta dan benda) akan mengalami kehampaan dan kekosongan hidup. Banyak orang yang mencoba memenuhi kehampaannya dengan narkoba, atau hidup berfoya-foya. Namun ia seperti minum air garam, makin haus dan haus lagi. Ia seperti perempuan Samaria yang bersuamikan lima orang, namun tak pernah bisa puas karena kehampaan. Hanya jika seseorang menemukan kembali jalan Tuhan dan ditemukan oleh Tuhan, serta meminum air kehidupan maka damai sejahtera bisa dipulihkan. Bahkan dari dalam dirinya bisa terpancarkan kedamaian yang abadi.

Kedua, kesadaran akan dosa, dan pilihan untuk pulang adalah jalan yang paling tepat. Ada seekor lebah yang terus terbang berputar menabrak dinding kaca botol tetapi tak menemukan jalan keluar. Saat ia terbaring lemah di dasar botol itulah ia melihat ke atas, ke mulut botol. Lubang yang membuatnya jatuh adalah jalan yang tepat untuk membuatnya bisa keluar dari botol. Titik di mana dosa dimulai adalah jalan yang paling tepat bagi kita untuk koreksi diri dan kembali ke rumah kita sendiri. 

Itulah tempat yang dipilih oleh si bungsu untuk kembali dari negeri yang jauh, rumah Bapanya.  Perubahan yang sejati terjadi pada akal budi bukan sekedar rasa. Sebab perubahan akal budi akan membawa kita kepada kemampuan untuk membedakan apa yang baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rom. 12:2).

Ketiga, pengubah yang paling besar dan berkuasa adalah kasih. Kasih Bapa yang menunggu, memeluk dan mengampuni, serta menyempurnakan. Kita semua membutuhkan dan mencari kasih yang seperti ini. Dalam Injil Lukas, poinnya ada pada kasih yang merindu dan mengubahkan dari Bapa kepada anak-anak-Nya. Inilah citra rumah yang harus kita bangun. Rumah yang aman buat anak-anak, buat setiap anggota keluarga. Jika ada yang terhilang, maka jangan tutup pintu dan jangan kunci kepulangan dengan penolakan, apalagi penghukuman. Bukalah dengan kasih yang mengampuni, sebab dia yang terhilang telah telanjang dan kehilangan semuanya.

Karena itu, mari kita jaga diri kita agar tidak ikut terhilang. Bagi kita yang pernah hilang dan sudah ditemukan, marilah kita ikut aktif dalam mencari yang terhilang. Wartakan dan kerjakan panggilan Tuhan untuk menjadi gereja yang mencari yang terhilang, menyadarkan yang tersesat dan memeluk dengan kasih sayang, seperti Bapa yang sayang kepada anak-anak-Nya.


-Pdt. Pdt. Timothius Adhi Dharma & Ani Widjaja-