Penerimaan Diri dan Pengertian akan Ke-Mahakuasa-an dan Ke-Ajaib-an Allah
Pada Rabu, 2 Agustus 2023 lalu di GKMI Karunia, Bekasi telah diadakan Ibadah Doa Malam yang diikuti beberapa jemaat. Ibadah ini rutin diadakan seminggu sekali dan dilayani langsung oleh Gembala Jemaat, Pdt. Sapto Suharno. Tepat pukul 19.00 WIB ibadah dimulai dengan pujian pengantar dan doa pembuka. Sebelum jemaat membagikan dan mendoakan pokok-pokok doa masing-masing, baik ucapan syukur maupun pergumulan yang dihadapi jemaat, Pdt. Sapto mengajak jemaat membaca kitab Ayub untuk direnungkan bersama. Tidak hanya sebatas mendengarkan pemaparan Pdt. Sapto atas ayat-ayat Firman Tuhan yang telah dibacakan, jemaat juga diajak untuk membagikan hasil perenungannya masing-masing. Diskusi hasil perenungan bersama atas kitab Ayub ini sangatlah inspiratif sehingga saya terdorong untuk membaca kembali Kitab Ayub selesai ibadah.
Ada beberapa poin pelajaran penting yang saya dapati setelah merenungkan kembali kitab Ayub dan hasil sharing bersama jemaat:
Pertama, gambaran awal tentang Ayub memperlihatkan betapa “mendekati sempurnanya” figur Ayub jika dilihat dari kacamata para penyembah Tuhan Allah Israel pada saat itu. Dalam konteks sosial masyarakat yang berlandaskan sistem perbudakan dan patriarki, kedudukan sosial Ayub sebagai Bapak dari suatu klan keluarga yang besar (istri beserta 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan) dengan harta yang berlimpah (ribuan ternak dan budak-budak yang mengurusnya) tentulah sangat istimewa. Namun tidak hanya itu, dalam segala kebesaran yang dimilikinya, Ayub tetap memiliki personalitas yang mulia, yakni hidup saleh dan jujur. Ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (pasal 1:1-5). Ia juga memiliki sahabat-sahabat yang “berhikmat”, sangat loyal dan menyayanginya (pasal 2:11-13) Sungguh gambaran hidup yang sangat ideal akan seorang laki-laki di masanya.
Kedua, atas permintaan iblis, semua keberlimpahan yang diraih Ayub diambil kembali oleh Allah untuk menguji kesetiaan Ayub kepada Allah. Kekurangan/ketiadaan harta, kematian/kehilangan anggota keluarga, konflik dengan pasangan, dan bahkan sakit penyakit juga dialaminya (pasal 1:13-19). Ini semua adalah problem-problem yang sedikit banyak juga dialami oleh sebagian besar umat manusia zaman sekarang. Namun, Ayub tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Allah dan tidak berbuat dosa (pasal 1:20-22, pasal 2:10).
Ketiga, di tengah penderitaan yang dialaminya, Ayub mulai berani berkeluh-kesah kepada Allah (pasal 3), sahabat-sahabat yang telah menemaninya berhari-hari justru memberikan nasihat (atau teguran keras) kepadanya dan mempertanyakan kesetiaannya kepada Allah (pasal 4-37). Situasi ini jelas semakin menambah kesulitan dalam diri Ayub dan mungkin bisa menimbulkan keraguan bagi Ayub akan kasih sayang Allah kepadanya.
Keempat, Allah tidak berdiam diri melihat Ayub yang berkeluh-kesah kepada-Nya dan malah membela diri terhadap nasihat sahabat-sahabatnya. Allah pun mencoba menjawab “keraguan” Ayub dengan menyatakan klaim kekuasaan-Nya atas alam semesta dan menantang Ayub “menguji” klaim tersebut (pasal 38-41). Namun, Ayub pun merespon Allah dengan merendahkan dirinya di hadapan Allah, mencabut perkataannya dan kemudian menyesalkan diri atas keraguan yang telah ia sampaikan (pasal 42:1-6).
Kelima, Tuhan Allah juga murka kepada ketiga sahabat-sahabat Ayub karena tidak berkata benar tentang-Nya kepada Ayub dalam “nasihat-nasihat” mereka kepadanya. Namun, Allah pun mengampuni mereka dengan perantaraan doa-doa Ayub yang tetap setia kepada-Nya. Tuhan lalu memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.
Keenam, semua problem yang dialami Ayub juga dialami berbagai umat Allah dengan cara dan ukuran yang berbeda-beda. Namun, respons yang diberikan Ayub menunjukkan bahwa ia pun tidaklah sepenuhnya sempurna sebagaimana bayangan ideal kita atas seorang individu yang telah diberkati Allah, serta senantiasa hidup saleh dan jauh dari kejahatan.
Layaknya manusia biasa pada umumnya, Ayub pun harus mengalami juga tahapan denial/emosional dalam merespon ujian yang diberikan Allah, yakni dengan berkeluh-kesah kepada-Nya (pasal 3 & 16). Menjadi umat yang mencintai Allah, dalam pandangan Pdt. Sapto, bukan berarti kita tidak luput dari berkeluh-kesah kepada Allah atas keadaan buruk yang menimpa diri kita. Saat mengalami masalah atau musibah, orang-orang biasanya akan menjalani tahapan menolak (denial), stres, hingga depresi. Namun, bila diterangi Firman Tuhan, tahapan denial/emosional ini akan menjadi medium yang mengantarkan kita pada tahap penerimaan akan diri serta situasi dan kondisi yang kita alami.
Selain itu, sebagai salah seorang jemaat yang hadir, Pak Firnoyoso menambahkan bahwa Ayub tidak hanya berhenti pada fase penerimaan, tapi juga melangkah ke dalam fase pengertian akan Ke-MahaKuasa-an dan Ke-Ajaib-an Allah. Semua fase tersebut akan menjadi sarana pembuktian seberapa jauh kesetiaan kita kepada Allah yang kesetiaan-Nya pada umat-Nya sungguh tiada ukur.