Berita GKMI

Tiga Rem dalam Penguasaan Diri

| Rabu, 04 Januari 2023

“Saya mohon maaf apa yang telah terjadi. Saya sangat menyesal, saat itu saya tidak bisa mengontrol emosi dan tidak jernih berpikir,” ujar FS di persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 1 November 2022 lalu (Kompas TV, 5 November 2022).

Sejak Juli 2022, peristiwa pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh atasannya sendiri menjadi hot news dan terus menjadi perhatian besar masyarakat Indonesia. Terbukti setiap kali sidang, media massa terus gencar melaporkannya.

Pasti FS dan istrinya, PC, saat-saat ini mengalami penyesalan dan kesedihan yang luar biasa. Duh, andai waktu bisa ditarik mundur, hal ini tak akan mereka lakukan. Barangkali mereka sama sekali tak menduga akibat dari kemarahan itu telah membawa kehidupan mereka ke dalam penderitaan dan kesengsaraan yang sangat dalam.

Jauh sebelum kasus ini terjadi, Hawa pun juga pernah mengalami hal serupa. Ketika dirinya diusir dari Taman Eden dan menerima hukuman, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu" (Kej 3:16). Tentu ada penyesalan dan kesedihan yang luar biasa, bahkan rasa malu yang tak terkatakan. Seakan hukuman ini jauh lebih berat dari kenikmatan sesaat yang dia dan Adam rasakan. Bermula dari melihat dan tertarik, kemudian tak bisa mengendalikan bahkan menguasai dorongan itu.

Ketika Daud mendengar suara Natan yang mengingatkannya bahwa pedang tidak akan menyingkir dari keturunannya selamanya (2 Sam 12:10), anak yang dikandung Batsyeba mati, terlunta-lunta akibat pemberontakan yang dilakukan Absalom, anaknya sendiri, dia pasti menyesal luar biasa. Dan kesengsaraannya kian “sempurna” ketika di masa gelap itu Absalom pun melakukan perbuatan yang merupakan penghinaan luar biasa baginya, yakni memperkosa gundik-gundik Daud (2 Sam 16:22). 

Daud pasti tak menduga, kesengsaraan dahsyat itu berawal saat dia melihat Batsyeba yang sedang mandi. Peristiwa menggoda yang mengguncangkan, dan tak banyak pria kuat menanggung alias menguasai diri atas peristiwa semacam ini. Kejadian sore itu adalah benih awal atas dosa-dosa berkelanjutan yang dilakukan oleh Daud, sekaligus awal malapetaka yang dialaminya.

Ketiga peristiwa di atas adalah kenyataan yang tak bisa disangkal, tentang konsekuensi atau akibat yang terjadi ketika manusia tak bisa menguasai diri. Pertama, dorongan untuk marah. Betapa banyak kita dipertontonkan oleh kejadian-kejadian fatal akibat manusia yang tak bisa menguasai amarahnya? Marah terhadap anggota keluarga, teman kerja, rekan segereja, bahkan juga marah-marah di jalanan.

Kedua, adalah dorongan ketamakan. Seperti yang Hawa alami. Ingin cepat hidup nyaman. Berkuasa, kaya dan terkenal. Bukankah saat ini dunia sedang lenyap dengan keinginannya (1 Yoh 2:17)? Ketiga adalah dorongan libido. Peristiwa Daud dan Batsyeba menunjukkan bahwa orang-orang yang selama ini dikenal taat, bisa saja jatuh gara-gara nafsu ini. Semakin ke sini, kian banyak orang yang sepertinya imun terhadap godaan seks tapi pada akhirnya akan jatuh juga. Tak kuat menguasai diri lagi.

Menarik sekali tulisan Paulus kepada jemaat di Galatia. Tema yang sangat terkenal, yakni buah Roh (Gal 5:22-23) dengan “sembilan rasanya” itu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Apakah penguasaan diri yang diletakkan paling akhir itu berarti kontribusinya dalam ‘rasa’ buah Roh adalah paling kecil? Jelas tidak. Justru kita ditunjukkan Paulus bahwa kesembilan rasa itu saling mengait tak terpisahkan. Bahkan ada celah pula, bahwa Paulus menggunakan gaya berbahasa induktif. Dia melihat peran penting penguasaan diri dalam buah Roh.

Bukankah dengan adanya penguasaan diri orang bisa tetap mengasihi? Dengan penguasaan diri orang bisa bersukacita? Bisa damai sejahtera? Bisa sabar? Bisa murah hati? Bisa baik? Bisa setia? Bisa lemah lembut?

Kepada jemaat di Korintus, Paulus juga menulis hal penting berkaitan dengan penguasaan diri. Dia berpesan, “Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi,” (1 Kor 9:25).

Menguasai diri dalam segala hal? Iya, Alkitab berpesan demikian. Dengan kesadaran, bahwa saya pun kerap jatuh dalam hal penguasaan diri (tapi puji Tuhan oleh kasih karunia Allah, diangkat-Nya lagi) mengusulkan tiga rem praktis ketika dorongan besar untuk lepas kontrol itu datang.

Rem pertama, pertanyakan apa manfaat yang akan kita dapat dengan melakukan perbuatan itu?

Rem kedua, pertanyakan apa manfaat atas objek perbuatan kita?

Rem ketiga, pertanyakan apakah perbuatan kita akan menyenangkan hati Tuhan?

Apabila dalam salah satu rem pertanyaan di atas ada satu jawaban yang ternyata bermakna negatif, maka urungkan perbuatan tersebut. Tahan dan kuasai diri kita. Kiranya Allah Roh Kudus menolong setiap kita dalam hal ini.