Worship in Everyday Life: Why Not?
Sebagai sharing penutup dari rangkaian acara Global Youth Summit (GYS) 2022 pada 4 Juli 2022 lalu, Ps. Dea Genanda membawakan khotbahnya dengan sub-tema terakhir dari acara ini, yaitu worship atau penyembahan. Mengingatkan kita bagaimana penyembahan kepada Tuhan ternyata tidak hanya melalui pujian tetapi juga kehidupan keseharian kita.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, peserta GYS memuji dan menyembah Tuhan bersama band dari JKI—Jemaat Kristen Indonesia, gereja saudara kita dalam payung Anabaptis-Mennonite di Indonesia. Bedanya, kali ini pelayanan pujian dibawakan oleh nama band yang tidak asing lagi di telinga kita, yaitu JPCC Worship. Memiliki kepanjangan Jakarta Praise Community Church, ternyata gereja ini masih berada di bawah naungan Sinode JKI. Band ini sudah menyumbang banyak lagu-lagu rohani yang kita nyanyikan hingga saat ini, karena mereka sudah aktif sejak 1996 dengan nama True Worshipper. Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri jika JPCC Worship bisa hadir dalam perhelatan Mennonite sedunia—Mennonite World Conference (MWC) 2022—dan berpartisipasi dalam closing ceremony GYS 2022 (4 Juli), sekaligus opening ceremony MWC 2022 (5 Juli).
Bersamaan dengan hadirnya JPCC Worship, Ps. Dea Genanda, creative Pastor di JPCC turut menyampaikan khotbahnya di tengah ribuan anak muda yang hadir pada malam itu. Ps. Dea membukanya dengan pernyataan bahwa di dalam Perjanjian Lama, orang-orang yang bisa memberi persembahan di Bait Allah hanyalah para imam, pun kurbannya tidak boleh yang bercela. Menandakan bahwa dahulu manusia tidak boleh sembarangan untuk memberikan persembahan, melakukan penyembahan mereka kepada Tuhan. Bahkan hanya orang-orang tertentu dan terpilih sajalah yang bisa dan boleh.
Namun hal itu berubah ketika Yesus disalib. Tabir Bait Allah yang memisahkan antara ruangan suci—tempat yang dikhususkan untuk para imam—terbelah menjadi dua. Menandakan bahwa dalam peribadatan dan penyembahan akan Allah, manusia seharusnya tidak dibatasi dengan sekat dan batasan apapun. “Jadi kita bisa menyembah Tuhan dengan bebas, tanpa syarat dan batasan,” kata Ps. Dea. “Karena dosa, kita hidup dalam kegelapan,” sambungnya, yang ia cuplik dari Efesus 5:8, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang.”
Salah satu bentuk “terang” yang bisa kita lakukan adalah melalui worship atau penyembahan. Ps. Dea pun memberi penekanan akan hal ini, “Penyembahan adalah sebuah sikap hati yang menempatkan Tuhan sebagai yang terutama.” Kita melakukan penyembahan karena Yesus sudah menebus dosa kita dan kita bisa dengan bebas melakukan penyembahan itu dalam bentuk apapun. Tetapi kita harus ingat, bahwa penyembahan itu pusatnya dari hati, bukan hanya sekadar kata-kata. “Worship is only about God, how we place God in the most precious place in our heart (Penyembahan itu hanya tentang Tuhan, bagaimana kita menempatkan Tuhan di tempat yang paling berharga di dalam hati kita),” kata Ps. Dea.
Bahkan dalam Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu,” kata “Eden” dalam bahasa Ibrani adalah “Abad” yang berarti mengusahakan, to cultivate (memelihara), to serve (melayani), to worship (menyembah). Jadi pada mulanya, Adam sudah melakukan penyembahannya dalam bentuk usahanya untuk memelihara taman Eden. Bisa dikatakan bahwa worship itu tidak hanya sekadar kata-kata—Puji Tuhan, Haleluya, God is great—atau lagu puji-pujian yang kita nyanyikan, tetapi juga segala sesuatu yang kita lakukan dalam keseharian kita. “Worship is more than what happens in Sunday worship (Penyembahan itu lebih dari apa yang terjadi di Ibadah Minggu). Segala sesuatu yang kita lakukan atau usahakan, itulah penyembahan,” terang Ps. Dea, seperti yang tertulis dalam Kolose 3:23, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Sebagai penutup, Ps. Dea mengingatkan kita semua akan Efesus 5:15-21. Di mana kita diajak untuk introspeksi diri: apakah kehidupan kita selama ini seperti orang bebal, bukannya orang arif? Apakah kita sudah mempergunakan waktu kita sebaik mungkin karena hari-hari ini adalah jahat, supaya kita jangan bodoh tetapi berusaha untuk mengerti kehendak Tuhan? Apakah selama ini kita masih “mabuk” anggur duniawi yang menimbulkan hawa nafsu, padahal seharusnya kita dipenuhi oleh Roh? Apakah kita sudah berkata baik kepada sesama? Memuji Tuhan dengan segenap hati bukan hanya sekadar menyanyi dengan kata-kata? Apakah kita senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan, akan segala sesuatu? Dan apakah kita sudah merendahkan diri dengan sesama, di dalam takut akan Kristus?
Hidup kita bukanlah milik kita melainkan Kristus. Sehingga sudah selayaknya jika kita mengusahakan segala kebaikan, ketulusan, dan penuh dengan rasa syukur, tidak hanya kepada Tuhan melainkan sesama. Karena hidup kita adalah bagian dari penyembahan kita, seperti pujian The Heart of Worship yang diciptakan oleh Matt Redman, “It’s all about You, Jesus (Semua tentang-Mu, Yesus)”.