Berita GKMI

20 Tahun Gay, Bekal Cukup Pulihkan Sesama

| Selasa, 15 November 2022

“Saya grew up (tumbuh), dididik di keluarga Kristen, diajarkan nilai-nilai Alkitab, jadi saya tahu kalau itu ga seperti yang Tuhan mau. Tapi rasanya ga bisa bendung hasrat ini untuk berelasi dengan pria-pria itu.”

Zion Tjendana adalah anak kedua dari tiga bersaudara, sekaligus anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Lahir dari papa dan mama yang dua-duanya adalah Pendeta, tentu Zion menghabiskan masa hidupnya dari lahir dalam lingkup iman Kristen. “Kalau punya orang tua Pendeta, pasti hampir semua dari mereka ingin supaya anak-anaknya jadi Pendeta juga. Tapi papa ga maksa. Jadi Pendeta boleh, papa senang, mau jadi yang lain juga boleh,” bagi Zion. Dirinya pun pernah menempuh pendidikan S2 di Southern Baptist Theological Seminary, Louisville di jurusan Church Music karena ia memang suka musik. Kehidupannya terkesan baik-baik saja dan harmonis, begitu juga yang Zion pikirkan. Hingga pertemuannya dengan seorang mentor di sebuah komunitas pada tahun 2004 menyadarkannya akan sesuatu.

“Adakah kejadian-kejadian yang membekas dalam pikiranmu?” pertanyaan dari mentor itu sempat membuat dirinya bingung, karena baginya, kehidupan di keluarganya baik-baik saja. “Saya ga pernah ada masalah, ga pernah dilecehkan, ga sering di-bully. Saya malah sering dipuji,” katanya kepada mentornya kala itu. Tetapi kemudian ia teringat akan suatu peristiwa, di mana ketika dirinya ikut les piano di usia sekolah, ada konser mingguan yang selalu diselenggarakan. Acara rutin ini biasanya dilangsungkan di hari Minggu, hari di mana orang tua Zion sibuk melayani di gereja. Ketika acara selesai, biasanya anak-anak akan berfoto bersama dengan orang tuanya, tetapi Zion tidak pernah memiliki foto itu. Memang terdengar sepele, tetapi ketika mentornya kembali bertanya, “Apa yang kamu rasakan tentang hal itu?” tiba-tiba Zion menangis sejadi-jadinya. Ia pun bingung mengapa ia merasa sangat sedih?

Pengabaian: akar dari permasalahan

“Ketika saya pulang ke Indo, pasti disuruh khotbah di mimbar, padahal jurusan kuliah saya musik gereja. Papa saya datang, duduk di kursi depan, dan wajahnya berbinar-binar. Tapi kalau saya pelayanan paduan suara, nyanyi solo, papa ga datang dan apresiasi. Papa kok ga ngerti saya suka musik? Saya punya luka dari sana,” kenang Zion menanggapi peristiwa yang terjadi kala itu. Di usianya yang kepala tiga pada waktu itu, Zion barulah menyadari bahwa dirinya memiliki luka batin pengabaian. Dan di saat yang bersamaan, dirinya juga mengerti mengapa ia punya keinginan untuk memenuhi kebutuhan itu dari orang lain, dari sosok lelaki dewasa, sebagai ganti kebutuhan emosional yang tidak ia dapatkan dari papanya.

Pengabaian itu tidak serta-merta adalah faktor tunggal mengapa dirinya pernah hidup dalam perilaku menyukai sesama jenis. Ada faktor nature (alami) dan nurture (asuhan). Zion mengakui beberapa faktor yang mempengaruhi dirinya adalah hubungan yang kurang intim dengan orang tua—terutama papa—, pergaulan, dan cara pandangnya. “Karena ga ada figur pria di keluarga, saya jadi curious (penasaran) tentang relasi dengan pria itu seperti apa,” kata Zion. Menjadi seorang anak Hamba Tuhan, berada di lingkungan kristiani, dan rajin pelayanan tidak mengurungkan niatnya untuk semakin penasaran dengan perilaku LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender) ketika kuliah. “Saya tahu itu salah dan saya benci dengan ketertarikan ini,” lanjutnya. Hal itu juga yang seringkali kita temukan dalam diri orang-orang dengan perilaku LGBT, yang memiliki keimanan kuat tentang ajaran agamanya. Mereka biasanya merasa malu, menutup-nutupi, tidak tahu harus bagaimana, bahkan ada yang kemudian menjauh dari Tuhan karena tidak mau merasa bersalah terus-menerus. Tak jarang juga kita temukan orang-orang yang judgemental terhadap kelompok ini. Membuat beban hidup mereka semakin berat.

Tiap orang tentu memiliki kebutuhan dasar emosional dalam relasi mereka, terutama di dalam keluarga. “Papa memang orangnya pasif, diam, kurang terlibat secara emosional dalam kehidupan anak-anaknya,” kata Zion. Ketika dirinya merasa tidak adanya koneksi emosional dengan papanya, ia menjadi adiktif untuk mencari keintiman dengan pria dewasa melalui hubungan intim. “Saya ga bisa stop. Saya merasa kekosongan kebutuhan ini terpenuhi,” akunya.

Titik balik kehidupan: “Tidak ada lagi yang saya banggakan”

Kurang lebih, Zion bergumul di dalam perilaku LGBT-nya selama 11 tahun. Dirinya mengaku menemukan titik cerah untuk minta Tuhan pulihkan dirinya ketika menyadari bahwa salah satu akar terbesar dalam perilaku ini adalah karena ia merasa telah diabaikan oleh papanya. Setelah bertemu dengan mentor di tahun 2004, Zion mulai melawan perilakunya bersama dengan komunitas itu. Prosesnya cukup lama, hingga membuat dirinya sempat marah ke Tuhan. Ia merasa masa pemulihannya sangatlah sulit: kebiasaan buruk, rasa kesepian, menderita, bahkan keluarganya juga tidak dipulihkan. Akhirnya ia pun terjatuh lagi ke dalam perilaku itu. Hingga akhirnya, di tahun 2015, ia mendapatkan ganjaran yang menjadikan turning point dalam hidupnya.

“Saya terkena HIV, bahkan ke AIDS. Ditambah dengan masalah di paru-paru. Berat badan saya turun, saya bedrest selama tiga bulan,” cerita Zion mengingat titik balik dalam hidupnya. “Tuhan ingetin dan saya sadar ga ada lagi yang saya banggakan, hanya Tuhan. Ikuti jalan Tuhan. Meskipun kesepian, ya biarlah anugerah Tuhan saja yang nemenin saya,” lanjutnya. Kondisi inilah yang kemudian membuat Zion mau tidak mau harus cerita kepada keluarganya, apa yang sedang ia alami dan rasakan. Ia sudah menyiapkan kemungkinan terburuk, tetapi keluarganya justru merangkulnya. “Saya bersyukur ga diusir, mereka menerima. Bahkan papa yang rawat dan ajak doa bersama,” kata Zion. Dalam tiga bulan perawatan, Tuhan menjamahnya. Tuhan menyembuhkan sakitnya lewat obat-obatan dan bilur kuasa-Nya. 

Secara perlahan, Zion mendapatkan pemulihan pada diri dan keluarganya. Ia baca Firman Tuhan dan selalu menangis karena merasa tidak layak. Menembus hal ini memang sangat sulit, tetapi ketika luka itu terbuka, dirinya bisa merasakan kasih Tuhan. Meskipun pada awalnya orang tua tidak paham dan merasa bahwa orang dengan perilaku LGBT ini aneh, tetapi melalui proses yang dialami oleh anak lelaki mereka satu-satunya ini, mereka jadi mengerti dan melihat Zion. Bahwa ada Zion-Zion lain di dunia ini yang membutuhkan teman untuk bangkit dan menemaninya menuju ke perubahan.

Ada beberapa poin yang Zion sampaikan untuk menempuh fase pemulihan:

  1. Menggali dan mengenali luka batin atau akar masalah yang menjadi pemicu perilaku buruk atau kegagalan dalam hidup menjadi murid Kristus. Kegagalan itu tanda bahwa ada sesuatu yang ingin Tuhan bereskan dalam hidup kita. Kadangkala letaknya tersembunyi di dalam, yang kita tutup-tutupi dan malu untuk mengakuinya di hadapan Tuhan.
  2. Mengakui segala luka yang terjadi dan ambil waktu untuk berduka. Dalam fase ini, pastikan ada orang lain yang mampu untuk membimbing kita agar tidak memperparah duka itu, misalnya menjadi depresi. 
  3. Menerima uluran kasih Bapa untuk memulihkan. Rasakan kasih dan anugerah Allah di tempat tergelap yang kita tutup-tutupi. Cari hadirat Tuhan lewat firman dan pujian. 
  4. Proses transformasi dalam Tuhan (Yoh 15). Ketika tiga hal di atas sudah kita penuhi, transformasi baru dimulai. Datang kepada Tuhan untuk mengubah perilaku buruk itu.

Proses mengampuni dan menerima orang tua juga tidak semudah itu. Meskipun ada rekonsiliasi, keterbukaan, dan perubahan di sikap mereka, tetapi Zion tentu tidak bisa mengontrol kedua orang tuanya. Melainkan ia mengubah cara pandangnya, bahwa kedua orang tuanya telah berhasil membesarkannya hingga sedemikian rupa, itu adalah sebuah kelebihan. Bahwa Zion mencoba memahami dari sisi orang tuanya. Papanya adalah anak lelaki tertua dari 15 bersaudara, bisa jadi masa hidupnya juga mengalami pengabaian dari orang tuanya, sehingga ia memiliki hubungan emosional yang minim. Hal itu pun ia adaptasikan dalam keluarganya, sehingga luka itu juga menimpa ke Zion. Jika Zion tidak menyadari hal ini, bisa jadi ia akan membawa luka itu kepada keluarganya kelak. Melalui hal ini, Zion pun sadar bahwa rekonsiliasi adalah hubungan timbal-balik, saling memahami dan menghargai. “Dulu saya llihat secara egois, sekarang cara pandangnya berubah. Reaksi pun berubah. Saya bisa mengasihi mereka, kasih agape,” katanya dengan bangga.

Lampaui godaan, cari hadirat Tuhan

Bagi Zion, Tuhan mengizinkan pengalaman-pengalaman ini—berperilaku LGBT (gay), memiliki luka batin dengan orang tua, terinfeksi HIV-AIDS hingga sembuh—terjadi dalam hidupnya untuk banyak tujuan. Tuhan pertemukan dirinya dengan orang-orang yang sudah diproses oleh-Nya, yang memiliki pergumulan dan visi yang sama. Tahun 2019, Tuhan menggerakkan mereka untuk membentuk sebuah wadah pemulihan bernama Transformed Life Community (TLC). Di mana komunitas ini melayani orang-orang dengan perilaku LGBT untuk mendapatkan pembaharuan dalam kasih Kristus dan mengalami pemulihan. Juga bagi mereka, kerabat orang berperilaku LGBT dan memiliki kerinduan untuk menjadi teman dalam pendampingan proses pemulihan tersebut. 

Melalui pengalaman hidupnya, Zion bisa lebih berempati dalam mendampingi teman-teman yang bergumul dalam TLC. Hingga sekarang, ada sekitar 100 orang yang Tuhan pulihkan bersama dengan TLC, 60 di antaranya masih aktif untuk melakukan komsel dan pemuridan. Selain itu, ada juga orang-orang di luar Kristen yang datang untuk konsultasi dan bercerita tentang pergumulan mereka. “Kadang saya ajak teman-teman TLC ke rumah dan ketemu papa, bahkan papa kenal mereka Seiring waktu, orang tua juga cari bacaan tentang LGBT supaya mereka ga menyinggung. Mereka men-support dan ternyata juga berkembang, bertumbuh,” kata Zion.

Bicara tentang pemulihan, saya pun penasaran dengan apa yang terjadi setelahnya. Dan ketika saya bertanya, apakah sekarang dirinya sudah sepenuhnya lepas dari perilaku LGBT, ia pun menjawab dengan sebuah analogi. “Godaan itu pasti akan selalu ada, sama kayak dosa-dosa lainnya. Apalagi kalau kita udah pernah nyoba dan nyemplung di dalamnya. Misal ketika kita terjerat narkoba, setelah pulih pun godaan untuk pakai pasti masih ada. Cuma gimana caranya kita menghindari dan menahan itu semua, dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih tinggal di dunia, godaan itu masih ada. Kita baru bisa bebas dan lepas sepenuhnya ketika kita bertemu muka dengan Tuhan,” pungkasnya mengakhiri perbincangan kami. Zion pun bersaksi bahwa melalui pengalaman hidupnya ini, sekarang dirinya memilih untuk hidup selibat dan setia di dalam Firman.

Apapun yang terjadi dengan kehidupan kita di masa lalu, percaya bahwa Tuhan mampu untuk mengubahkan. Ketika kita sadar bahwa apa yang kita perbuat itu tidak sesuai dengan Firman, maka sudah seharusnya kita datang kepada Tuhan untuk memohon ampun dan minta penyertaan-Nya untuk memulihkan. Prosesnya memang lama dan berat, sama seperti memikul salib. Tetapi ketika kita mengizinkan Tuhan masuk ke dalam ruang tergelap kita, kuasa-Nya akan menerangi ruang itu dan membawa kita keluar dari cengkraman dunia.