Berita GKMI

Fokus Pelayanan Anak: Efektivitas Gereja Bangun Sekolah

| Senin, 22 Juli 2024

Menekuni pelayanan untuk anak tentu ada banyak tantangan tersendiri. Kita harus memutar balikkan otak untuk selalu bisa berpikir kreatif agar anak tertarik untuk mendengarkan Firman Tuhan maupun mencintai Alkitab dengan suasana yang menyenangkan. Namun bagaimana jika pelayanan ini tidak hanya sebatas di Komisi Anak yang hanya terjadi seminggu sekali itu? Bahkan membuat anak menjadi cinta dan nyaman dalam komunitas kekristenan di masa ini?

Dalam kesempatan Sidang PMPL III di Semarang bulan September lalu, Pdt. Mariati Barus, Gembala Jemaat GKMI Sempakata membagikan pengalamannya dalam melayani anak di wilayah Medan dan sekitarnya. Memang betul kata beliau bahwa pergerakan perempuan di Sinode GKMI itu luar biasa spiritnya. Orang seringkali mengatakan bahwa perempuan lebih bisa menjangkau kalangan anak-anak. Hal itu tidak hanya dibuktikan dengan perkataan tetapi juga aksi nyata dari seorang Mariati Barus yang setia melayani anak-anak dan memuridkan mereka.

Hingga saat ini, GKMI Sempakata telah memiliki 4 unit TK, 3 SD, 1 SMP, 1 SMA, dan 2 unit asrama. Sebuah angka yang bisa dibilang luar biasa ketika gereja mau untuk memberi perhatian lebih kepada anak-anak lewat pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan ajaran Firman Tuhan. Bahkan semua gedung sekolah berhasil didirikan tanpa bantuan dana dari pihak manapun, “Pernah sih dibantu papan tulis sama Korea, tapi apa artinya dibandingkan dengan 4 gedung sekolah?” terang Pdt. Mariati di hadapan ratusan utusan Pendeta, Majelis Jemaat GGKMI, dan unit kerja Sinode. 

Ditemui secara terpisah, saya pun berbincang banyak dengan Pdt. Mariati mengenai pelayanannya yang luar biasa ini. Ketika saya bertanya mengenai awal mula dirinya dan gereja memutuskan untuk membuka sekolah formal, dengan sumringah beliau pun menceritakan kisahnya. “Saya bukan mau mendirikan sekolah seperti yang lain. Tapi di Sumut (Sumatra Utara), anak-anak sangat diabaikan. Kita memang mau mengajar iman kekristenan karena anak-anak adalah makanan empuk. Banyak sekali yang pindah karena ga kuat imannya. Makanya sekolah ini, sekolah yang sungguh-sungguh mengajarkan iman. Tapi juga harus punya kelebihan secara mutu supaya kita pun favorit,” katanya. 

Memiliki latar belakang keguruan (IKIP) mengajaknya untuk melakukan pelayanan pendidikan sebelum mendapatkan panggilan menjadi Hamba Tuhan. “Di mana saya mengajar, saya buka kebaktian. Anak-anak yang saya layani, yang bertobat, saya muridkan,” tuturnya. Sebelum pada akhirnya di tahun 1995, ia mendapat panggilan khusus dari 1 Petrus 2:5, “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani” Tetapi karena dirinya baru bergabung dengan PIPKA pada 1997, ia pun mulai bergumul akan pelayanan full time yang pada waktu itu akan dijalaninya. 

Dan Tuhan pun memberi jawab melalui Amsal 3:5-6, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu,” yang pada akhirnya memberi kekuatan pada diri Pdt. Mariati dan suami, Pdt. Hendry Tarigan yang memiliki kerinduan yang sama sebagai Hamba Tuhan.


Dari desa terpencil menjadi blueprint utama

Awalnya mereka merintis TK di sebuah desa terpencil, Desa Durin Tinggung, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Mereka memberinya nama “Holy Kids”. Melalui besarnya kasih karunia Tuhan, di angkatan pertama ada sekitar 40 anak yang mendaftar. Sebuah angka yang luar biasa. “Karena waktu kita datang, belum ada TK di 6 Kecamatan sampai Desa. Masyarakat tentu antusias, ada yang bukan dari keluarga Kristen tetapi mereka tetap daftar,” kenang Pdt. Mariati. Bahkan sampai sekarang pun, tetap ada 2 atau 3 anak yang bukan beragama Kristen sekolah di sana. Nampak orang tua mereka sepertinya tidak memiliki masalah yang berarti dengan pengajaran nilai-nilai Kristiani dalam pendidikan anak-anaknya. 

Angkatan pertama itu pun Tuhan bimbing luar biasa sehingga mereka sudah bisa membaca dan berdoa. Padahal menurut pengakuan Pdt. Mariati, anak-anak kelas 3 SD di desa itu saja masih belum pandai membaca. Sehingga pada akhir tahun pembelajaran, Holy Kids pun mendapatkan demonstrasi dari para orang tua. “Bangun SD! Anak-anak kami bikin ke mana?” kata Pdt. Mariati menirukan ucapan para orang tua kala itu. Akhirnya para orang tua pun menggalang dana untuk uang pembangunan karena gereja belum memiliki uang. Hingga terkumpullah dana untuk membangun 1 kelas untuk SD, tahun depan tambah 1 kelas lagi, tahun depannya tambah lagi, begitu terus hingga tanpa disadari, Holy Kids bisa memiliki 6 kelas untuk SD.

Tak hanya sampai di situ, anak-anak murid pun dijadikan Tuhan luar biasa. Tingkah laku dan kepribadian mereka Tuhan ubahkan. Ketika pulang dari sekolah, orang tua di rumah pun ikut merasakan kasih Tuhan lewat anak-anak mereka. Tanpa diajari, anak-anak langsung meminta maaf jika melakukan kesalahan, bahkan mengajak orang tuanya untuk berdoa, “Anakku sekarang sudah ngajari aku berdoa!” kata Pdt. Mariati menirukan cerita dari orang tua. Bahkan anak-anak mereka pun jadi pandai menghafal ayat dan berani tampil di ibadah Minggu gereja masing-masing. Yang mana menjadi kebanggaan tersendiri bagi para orang tua. “Jadi booming lah sekolah kita, sehingga bisa satu kelas 40 anak. Asal pertandingan kecamatan, TK, SD kita dapat juara 1, piala kita borong,” lanjutnya. 

Bicara soal proses perizinan sekolah, Holy Kids tentu juga sudah mengantongi izin formal. Prosesnya memang tidak mudah. Tetapi di setiap pergumulan pasti selalu ada jalan keluar. “Kebetulan adik PA saya di kampus Kabagnya. Jadi langsung kami telpon dan bisa diatasi. Beres katanya. Itu salah satu perpanjangan tangan Tuhan,” bagi Pdt. Mariati. Bahkan pemerintah setempat pun turut mendukung keberadaan sekolah ini. Pak Camat memberi kesaksian bahwa dirinya belum pernah dipanggil untuk menerima hadiah karena pendidikan, tetapi dengan kehadiran Holy Kids, dirinya pun turut dikenal oleh Bupati.


Unggulkan kualitas dan pengembangan diri anak

Sukses merintis di desa, muncullah pemikiran untuk mengembangkan Holy Kids ke kota. Tidak main-main, langsung ke kota besar, ke Medan. Meskipun persaingan tentu akan lebih berat tetapi karena campur tangan Tuhan, jalan itupun Ia luruskan. Berbekal pengalaman perintisan di desa dan promosi dari jemaat yang bersemangat untuk mencari siswa, maka di angkatan pertama pun terkumpul sekitar 40 anak. Berkembang terus menerus melalui pasang surut hingga kini total siswa bisa mencapai lebih dari 600 anak. Bahkan TK Holy Kids menjadi salah satu TK favorit di Kota Medan.

Bertolak dari Kota Medan, TK Holy Kids juga ikut dirintis di kecamatan, hingga berkembang menjadi TK, SD, SMP beserta dengan asramanya. Mengapa memilih untuk mendirikan asrama SMP? “Asramanya semi teologia supaya kehidupan (siswa) berbeda sama yang di luar sana. Karena full sama kita. Ajarkan saat teduh, Bahasa Inggris. Kalau ga diasramakan, setengah hari sekolah, setelah itu bergaul lah mereka, merokok lah, narkoba lah,” jawab Pdt. Mariati. 

Itulah mengapa SMP Holy Kids di kecamatan ini juga termasuk SMP favorit, sehingga anak-anak dari Medan dan daerah lainnya pun juga tertarik untuk masuk ke sana. “Biasanya promosi itu lewat para orang tua, ‘Kok bisa anakmu berubah? Sekolah di mana?’ gitu,” kata Pdt. Mariati menambahkan. Bahkan kualitas pendidikan SMP di kecamatan ini bisa menandingi SMP swasta di Medan. Selain karena mutu yang bagus dan uang sekolah yang tergolong murah, anak-anak juga diajarkan untuk hidup mandiri, melakukan pekerjaan rumah sendiri, mencuci sendiri, tata kramanya juga jadi lebih baik.

Holy Kids juga ingin memiliki ciri khas tersendiri dalam keunggulan mutunya, yaitu kerohanian dan Bahasa Inggris. “Anak-anak saya jago Bahasa Inggris,” kata Pdt. Mariati bangga. Setidaknya sejak TK mereka sudah mulai terbiasa mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Guru-guru pun ikut dikursuskan Bahasa Inggris secara gratis oleh guru Bahasa Inggris Holy Kids sendiri. Ketika saya bertanya, dari mana asal guru-guru yang mengajar, Pdt. Mariati pun menjawab, “Semuanya adalah jemaat saya. Ada 18 orang alumni IKIP, mereka siap ngajar tanpa dibayar. Sehingga ketika kita buka SMA, hanya ada 3 posisi guru yang tidak ada di jemaat: Bahasa Indonesia, olahraga, dan Pendidikan Pancasila.” 

Guru-guru yang awalnya adalah volunteer ini, tentu seiring berjalannya waktu mendapatkan honor, apalagi ketika ada banyak siswa yang mendaftar untuk bersekolah di sana. “Kalau ga ada dana, jemaat siap mulai ngajar tanpa dibayar. Bukan karena ada dana kita bisa maju, tapi SDM nomer satu,” sambung Pdt. Mariati.

Anak-anak juga diajarkan untuk menghafal ayat-ayat Alkitab. Masa anak memang masa-masa emas pertumbuhan, sehingga jika sejak kecil mereka sudah pegang Firman Tuhan, maka ke manapun mereka pergi, Firman itu akan terus mereka ingat. “Gimana nanti kalau ga hafal? Sementara kalau kita ga sungguh-sungguh, mereka juga bisa dapat pengaruh dari media. Asal pacaran, terus tinggalkan Kristen. Bisa habis anak kita,” kata Pdt. Mariati mengungkapkan kekhawatirannya. 

Meskipun di Medan ada beberapa sekolah Kristen favorit, tetapi pembinaan kerohanian di Holy Kids berbeda. Anak betul-betul dilayani oleh para guru, bahkan guru-guru pun juga sudah di-training terlebih dahulu. “Cakap kotor yang praktis-praktis gitu, satu kata pun ga akan pernah keluar. Dan kalau guru mengucapkan itu, bisa langsung dipecat,” tegas Pdt. Mariati. Panggilan “Sayang” kepada anak-anak, pembelajaran yang fun, membuat anak merasa disayang dan didorong pun seakan menjadi kekuatan tersendiri bagi Holy Kids


Memuridkan anak dan melibatkan mereka dalam pelayanan

Tak hanya berkarya melalui sekolah formal, Ketua Komisi Perempuan dan Anak PGI Wilayah Sumatra Utara ini juga turut memberi perhatian penuh pada Komisi Anak di gerejanya. Apalagi jika seluruh murid dari TK dan SD Holy Kids adalah anak-anak anggota Komisi Anak di GKMI Sempakata. “Semua anak Sekolah Minggu saya mana mau ke sekolah lain? Jadi anak sekolah lah yang jadi anak Sekolah Minggu saya, makanya pintar-pintar. Anak jemaat ga ada yang mau sekolah di manapun selain di tempat kita. Udah fanatik banget itu,” terang Pdt. Mariati sambil tertawa. 

Semua anggota Komisi Anak diberi katekisasi dan pendampingan. Katekisasi di sini artinya pemuridan. Dibuatlah Bible study dalam bentuk mentoring. Setiap Selasa, anak-anak yang terbagi dalam kategori umur mengirim laporan setelah membaca Alkitab, mereka harus dibudayakan untuk cinta Alkitab. Mulai kelas 3 SD mereka harus menulis kesan dan aplikasi terhadap ayat yang mereka baca. Prosesnya adalah menginjili dan memuridkan (bagi yang sudah bertobat). Standar bertobat untuk anak SD adalah adanya pengakuan Firman Tuhan yang membuat mereka mengakui dosanya di hadapan Tuhan dan mengalami perubahan. “Sebagai gembala, saya amati. Kalau sekiranya anak ini belum yakin, ga pa-pa diulang. Mana tahu karena masih kecil, peneguhan lebih dari sekali ga pa-pa, siapa tahu semakin kokoh,” kata Pdt. Mariati.

Selanjutnya di hari Kamis, mereka akan mengadakan Zoom meeting, biasanya dihadiri sekitar 70 partisipan. Kegiatannya adalah mengulang khotbah yang dibawakan di hari Minggu kemarin. Anak-anak kemudian dibagi dalam 3 breakroom untuk sharing lebih lanjut dengan guru pendamping. Di hari Sabtu, anak-anak yang bertugas melayani ibadah Komisi Anak akan mengadakan latihan. Ada yang menjadi MC berpasangan, ada yang mengisi tarian. Sebelumnya pun mereka latihan sendiri dengan orang tua di rumah, jadi tinggal latihan sekali dan langsung tampil. Terkadang anak-anak ini pulalah yang lebih mengerti bagaimana cara menghidupkan suasana dengan teman-teman sebayanya, sehingga kakak-kakak pendamping pun bisa jadi kalah saing dengan mereka. 

Segala aktivitas ini bahkan sampai memunculkan semangat tersendiri bagi anak-anak sehingga mereka tidak ingin melewatkan satupun kesempatan untuk tidak masuk sekolah maupun ibadah. “Anak-anak saya ga pernah ada yang absen, selalu 100 persen. Kalau mereka demam dikit, ga mau libur kecuali sudah tergeletak. Apalagi Sekolah Minggu yang seminggu sekali. Saya sudah adakan penelitian, presensi mereka full stikernya. Paling tidak kalaupun pulang kampung, mereka Sekolah Minggu pakai live streaming. Karena senang dia, fun, merasa nyaman,” bagi Pdt. Mariati.

Semenjak Pandemi Covid-19 melanda, Pdt. Mariati dan tim pun tidak mengalami kesulitan yang berarti. “Saya dulu sudah pernah bercita-cita, setahun sebelum Pandemi. Gimana lah ini pos-pos dan sekolah kita ada kebaktian live streaming? Jadi sudah ada pelajaran kepada tim creative ministry karena sudah ada planning ke depan,” terang Pdt. Mariati. Jadi mereka sudah menyiapkan rencana dan konsep agar ibadah bisa sampai menjangkau desa, termasuk pertemuan ketika di sekolah. Begitu pandemi melanda dan orang lain baru mau mulai hijrah ke online, Holy Kids dan GKMI Sempakata sudah siap untuk eksis. Bahkan ketika pandemi tahun kedua pun terjadi penambahan jumlah siswa. Bisa dikatakan di tahun 2022 inilah rekor jumlah murid terbanyak di Holy Kids.


3 kunci pelayanan anak bagi gereja

Dalam akhir perbincangan kami pun Pdt. Mariati memberikan tiga saran bagi gereja-gereja dalam melakukan pelayanan anak:

Ajarkan anak dalam bentuk kreativitas untuk mendengar Firman Tuhan melalui 5M: mendengar, membaca, mempelajari, menghafal, dan merenungkan.

Jika ingin mendapatkan buah yang baik maka pohonnya harus baik dulu. Pohon adalah gambaran bagi anak-anak kita. Jika gereja merawat, menyayangi, memperhatikan pertumbuhan pohon ini, maka buah-buah yang baik itu akan muncul dengan sendirinya. Bahkan akan terus berbuah dengan baik jika pertumbuhan pohonnya pun baik. Buah ini bisa jadi etika mereka, kepribadian, tutur kata, cara penyelesaian masalah, kepandaian mereka dalam akademis maupun emosional, yang akan terus mereka keluarkan ketika sudah dewasa, kuliah, bekerja, bahkan menikah kelak.

Selagi bisa melayani, buat dan tekuni dengan segenap tenaga dan doa. Membimbing anak dalam kekristenan tidak hanya seminggu sekali ketika Sekolah Minggu, tetapi juga dalam keseharian dan pendidikan mereka. “Mendengar itu paling rendah. Kalau kita ada waktu untuk mengajar, maka Firman Tuhan banyak tinggal,” tuturnya. Sehingga beliau menyarankan agar gereja-gereja mau untuk mendirikan minimal sekolah PAUD. Sekolah dan gereja jika berdampingan akan sangat efektif. Dan jika Tuhan berkehendak, maka Ia akan terus menambah-tambahkan.