Berita GKMI

Kejawen dan Kekristenan: Sebuah Kolaborasi Esensi Hidup

| Selasa, 15 November 2022

Terkait dengan kepercayaan “kejawen” terus terang saya pernah menghidupinya di masa lalu, di mana tradisi ini sangat kental dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Istilah “kejawen” secara etimologi berasal dari kata “jawa”, sehingga  sering dikenal sebagai kepercayaan khas orang Jawa. Kepercayaan ini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang melekat seperti adat istiadat, ritual, seni, budaya, dan filosofi orang Jawa. 

Antara kejawen dan kebatinan

Pada dasarnya, praktek spiritualitas dari masyarakat Jawa ini bercorak “kebatinan.” Bagi mereka yang memiliki kepercayaan kejawen, meyakini bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk yang kelihatan: manusia, tumbuhan dan binatang; tetapi juga makhluk lain yang tidak kelihatan. Artinya, semua penghuni dunia harus berbagi tempat dan kesempatan untuk hidup. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap saling mengakui, menerima dan menghormati.

Bagi penganut keyakinan kejawen, dalam praktik keagamaannya—entah itu Hindu, Buddha, Kristen, atau Islam—cenderung tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa dengan “Manunggaling Kawula lan Gusti” (kesatuan antara hamba dan Tuhan) sebagai orientasi hidupnya. Inilah yang merupakan capaian “kesempurnaan hidup” bagi pemeluknya. Untuk mencapainya diperlukan “Sembah Raga” (Syariat), “Sembah Cipta” (Tarekat), “Sembah Jiwa” (Hakekat), dan yang terakhir, yang tertinggi levelnya atau yang terdalam penghayatannya adalah “Sembah Rasa” (Makrifat). “Sembah Rasa” inilah yang sering diungkapkan dengan “Manunggaling Kawula lan Gusti.” Dalam level ini, manusia menjadi paham siapa dirinya (Tepa Salira), ke mana tujuan hidupnya (Sangkan Paraning Dumadi), dan untuk apa hidup di dunia ini (Memayu Hayuning Bhuana).

Tentu sebagai kepercayaan, kejawen juga mempunyai rumusan pengajaran yang menjadi pedoman bagi pengikutnya. Sebagaimana sedikit saya singgung di atas bahwa kepercayaan ini sangat bercorak kebatinan. Untuk memahami dunia batin ini dibutuhkan laku tertentu atau menjalankan amalan-amalan tertentu (sering disebut dengan istilah japa mantra atau doa). Juga ritual-ritual tertentu, seperti puasa (ada banyak jenis puasa), bertapa (ada banyak jenis bertapa) dan ritual-ritual lainnya. 

Orang-orang yang menganut kepercayaan kebatinan yang sungguh-sungguh sering disebut dengan istilah “dukun” yang konotasinya “orang pintar”, dianggap memahami dunia batin yang merupakan dunia sejati. Itu sebabnya mereka menjadi tempat jawab tentang apa saja. Tentang ilmu sejati (kawruh jati), tentang masa depan, jodoh, barang yang hilang, penyakit dan sebagainya. Hal tersebut mirip dengan nabi, hakim, imam dan tokoh spiritual lainnya dalam Alkitab, terutama di Perjanjian lama. Hanya saja, kita perlu tahu bahwa istilah “dukun” tersebut mempunyai banyak konotasi dan juga banyak kepentingan. Kepercayaan kejawen atau kebatinan merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan di desa tempat kami hidup dulu, termasuk leluhur saya. Berdasarkan kisah-kisah yang saya dengar, memang leluhur dari bapak dan ibu termasuk orang-orang yang sangat berpengaruh di desa kami. 

Dari kebatinan menjadi kekristenan

Kekristenan masuk di desa kami ketika saya masih kelas III SD. Sebelumnya yang ada adalah agama Islam. Orang Kristen pertama di desa kami adalah bapak Suparmin. Beliau adalah seorang pedagang yang sering belanja ke kota. Saat ke kota itulah beliau mengenal kekristenan dan kemudian membuka rumahnya untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Saking gigihnya beliau bercerita tentang ajaran Kristen ke para tetangga di desa, kekristenan di desa kami cepat bertumbuh. Bisa jadi memang karena “tanahnya” cocok. Artinya, latar belakang masyarakat desa yang memiliki aliran kejawen mudah untuk memahami ajaran Kristen. 

Dengan adanya agama baru yang masuk desa, saya yang masih anak-anak waktu itu sangat ingin tahu. Itu sebabnya setiap ada kebaktian (waktu itu istilahnya “kumpulan Kristen”) yang diadakan setiap hari Rabu pukul 14.00, saya berusaha untuk “menonton kumpulan orang Kristen.” Mereka menyanyi dengan gembira, berdoa, dan mendengarkan pengajaran (khotbah). Saya memperhatikan dengan baik. Kadang saya anguk-anguk kepala di jendela, kadang duduk agak jauh sambil memperhatikan. Perlu diketahui bahwa yang “menonton” tidak hanya saya atau anak-anak yang lain, tetapi banyak orang. Hal itu karena orang desa butuh hiburan (tontonan). Sesuatu yang baru menjadikan tontonan yang menarik bagi mereka. Sama halnya dengan apa yang saya alami. Namun terkadang, ada kata atau kalimat yang tertangkap dan terngiang di pikiran saya. Kadang juga disertai rasa heran, “Kok begitu, ya?” Kadang juga ikut tertawa ketika ada kata atau kalimat yang lucu. 

Meski kekristenan di desa kami memiliki daya tarik tersendiri, tentu ada pula yang tidak suka, menolak, dan bersikap antipati. Mereka yang anti terhadap kelompok Kristen ini menyebarkan paham jika meninggal, orang Kristen akan dipenteng (disalib) seperti Yesus, tanah kubur tidak mau menerima raganya, dan rohnya akan masuk neraka karena tidak dapat menjawab pertanyaan malaikat kubur. Mendengar itu saya jadi heran, “Masa orang Kristen kalau mati disalib?” Tidak jarang sikap antipati menimbulkan tindakan-tindakan yang ekstrim. Itu juga yang terjadi pada kelompok Kristen di desa kami. Bahkan kelompok ini bersekutu dengan desa lain untuk menghambat kekristenan di desa kami. Yang menarik adalah semakin ditekan, kelompok Kristen di desa kami malah semakin berkembang. Akibatnya banyak orang yang tadinya tidak peduli, malah menjadi peduli dan ingin tahu lebih lanjut. Itulah yang terjadi dengan kekristenan di sana.

Jadi percaya dan kagum akan sosok Yesus

Saya menjadi Kristen bukan karena ajakan orang tua atau teman, tetapi atas kehendak sendiri. Di samping saya sering menonton “kumpulan Kristen”, saya juga secara sembunyi-sembunyi membaca buku besar berbahasa Jawa milik Bapak saya. Kalau tidak salah judulnya “Babad Tanah Suci”. Isinya adalah tentang kisah Tuhan Yesus mulai dari lahir hingga wafat-Nya. Saya membaca dari awal sampai akhir dengan senang dan bersemangat, terlebih buku itu ada gambar-gambarnya sehingga menambah rasa ingin tahu. Saya kagum dengan sosok Tuhan Yesus Kristus. Ia adalah orang hebat yang bisa melakukan segala sesuatu secara hebat pula. Saya sangat kagum dan heran, “Kok ada orang yang demikian luar biasa hebat seperti Tuhan Yesus?” Sampai pada akhirnya air mata saya tidak terbendung ketika sampai pada bagian Tuhan Yesus ditangkap, disiksa dan disalibkan. Sungguh saya tidak tega, orang sebaik dan sehebat Tuhan Yesus diperlakukan dengan jahat dan tidak berperikemanusiaan. Sekalipun air mata terus mengalir, tetapi hasrat untuk terus membaca sampai tuntas menguasai diri saya.

Saya heran, apa salah Tuhan Yesus? Saya mencari-cari dengan terus membaca ulang, tetapi tidak menemukannya. Hingga dalam kisah selanjutnya, saya baru memahami bahwa penderitaan dan kematian Tuhan Yesus mempunyai maksud dan tujuan, yaitu untuk menyelamatkan manusia. Dari sini saya merenung dan dalam hati muncul kekaguman, betapa hebatnya Tuhan Yesus. Ia rela menderita untuk orang lain. Dan yang lebih hebat lagi, Ia mati tetapi mampu hidup kembali setelah dikubur selama tiga hari. 

Sejak membaca buku “Babad” tersebut, semangat saya untuk menjalankan ibadah agama lama saya mulai kendor. Padahal ayah saya yang sudah memeluk agama Kristen mendorong saya untuk tidak lupa beribadah sesuai dengan agama lama saya. Oleh karena terus-menerus diingatkan, maka saya memberanikan diri untuk menyatakan akan ikut menjadi Kristen. Mendengar ucapan ini, ayah saya balik bertanya mengapa saya ingin menjadi Kristen? Spontan saya menjawab: ingin tahu siapa Yesus Kristus itu. Lalu ayah saya menjawab, “Jika demikian, kamu harus ikut ‘kumpulan’ supaya tahu tentang Tuhan Yesus.” Saya pun menurut tetapi sayangnya di perkumpulan itu saya kurang mengerti karena pengajarannya kebanyakan untuk orang dewasa. Oleh karena itu, saya juga ikut Sekolah Minggu.

Perpaduan antara kejawen dan iman Kristen

Terus terang, tanpa saya sadari, prinsip-prinsip kejawen telah menjadi bagian dalam hidup saya. Saya juga pernah mempelajarinya lebih dalam ketika menulis skripsi yang berjudul, “Pemahaman Jawa Jagad Cilik - Jagad Gedhe dan Implementasinya bagi Pelayanan Pendeta Jawa.” Demikian juga ketika saya menulis tesis yang berjudul, “Antara Selametan Kematian dan Bidston Penghiburan” di GKMI Surakarta. Saya tidak bisa dan memang tidak perlu mengingkari kenyataan tersebut. Justru semakin saya mengakui dan menerimanya, saya semakin mampu memahami dan menghayati ajaran Tuhan Yesus dalam kehidupan dan pelayanan saya. 

Saya semakin sadar bahwa saya ini “titah sak wantah” (makhluk ciptaan), tidak bakalan bisa mengenal Sang Pencipta dan berjalan di jalan-Nya jika tidak mendapat “ridho-Nya” (anugerah atau perkenanan-Nya). Saya memahami sangkan paran, bahwa manusia roh dan jiwanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah sebagai sumber dan pusat kehidupan. Oleh karena itu, bagi saya kesempurnaan hidup adalah ketika seseorang memahami kehendak Tuhan dan mengalami kesatuan hidup dengan Tuhan Allah atau “Manunggaling Kawula lan Gusti.” 

Demikian pula tradisi Jawa, seperti selametan, ruwatan dan ritual lainnya, juga bisa diakomodir oleh kekristenan dalam bentuk tertentu, seperti Bidston Penghiburan 3, 7, 40, 100 hari, juga 1, 2 dan 3 tahun (1000 hari), Bidston Syukur, Ibadah Pelepasan dan Pemulihan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini luarnya atau “wadahnya” tampak sama tetapi esensinya berbeda. Misalnya, Bidston Penghiburan diselenggarakan bukan dalam rangka mendoakan roh dan jiwa orang mati, tetapi untuk mengingat almarhum, merasakan penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarga yang ditinggal dan sekaligus sebagai sarana pemulihan dari dukacita. Dalam hal ini esensinya adalah Tuhan Yesus Sang Sumber Kehidupan, penjamin kehidupan dunia akhirat dan sumber kekuatan dan penghiburan. Orang yang mati di dalam Tuhan Yesus, roh dan jiwanya sudah berada dalam jaminan keselamatan Tuhan. Oleh karena itu, keluarga tidak perlu merisaukannya. Yang perlu dilakukan adalah mengingat kebaikan dan keteladanan bagi kehidupan yang lebih baik lagi. 

Tradisi ruwatan juga dapat dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan bergereja. Dalam tradisi Jawa, ruwatan merupakan salah satu upacara yang ditujukan untuk membuang “sengkala” atau keburukan demi menyelamatkan sesuatu dari sebuah gangguan. Seseorang atau sesuatu yang telah diruwat diharapkan mendapat keselamatan, kesehatan, dan ketenteraman kembali. Dalam hal pelayanan gereja, istilah ruwatan diganti dengan Ibadah Pelepasan dan Pemulihan. Prinsipnya sebetulnya sama, yaitu melepaskan seseorang dari segala jeratan kuasa gelap atau jahat dan mengkondisikan seseorang berada dalam keadaan murni dan suci seperti bayi yang baru lahir. Dalam hal ini yang memurnikan dan menyucikan tidak lain adalah pribadi Yesus Kristus sendiri. Dengan demikian terjadilah pemulihan hidup dan orang tersebut selanjutnya berada dalam otoritas Tuhan sepenuhnya.

Berkiblat kepada Tuhan Yesus Kristus

Semua manusia mempunyai latar belakang hidupnya masing-masing. Dalam hal ini bisa berupa latar belakang suku, tradisi budaya, agama lama, sosial ekonomi, sosial politik, termasuk  nilai-nilai asasi dalam dirinya. Nilai-nilai asasi tersebut bisa datang dari filosofi budaya leluhur, proses belajar dan perjumpaan hidup, penghayatan keimanan dan bisa datang dari mana saja. Semua itu merupakan realitas yang membentuk jati diri, wawasan berpikir, dan karakter hidup.  

Tidak ada keharusan untuk membuang akar sejarah hidup kita dalam penghayatan iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Yang kita butuhkan dalam hal ini adalah kesadaran bahwa penghayatan iman Kristen kita tidak berpijak pada kekosongan, tetapi pada kearifan nilai-nilai luhur yang sudah tertanam di dalam hidup kita. Nilai-nilai luhur tersebut bisa menjadi sarana kita melihat dan memahami Tuhan Yesus Kristus, dan bahkan membagikan tentang-Nya kepada orang lain. Istilah yang lazim dipakai adalah inkulturasi, yaitu mengadaptasikan, mengkolaborasikan kekristenan dengan mengakomodasikan budaya dan nilai-nilai luhur yang telah ada, sehingga terjadi kontekstualisasi, yaitu kekristenan dapat lebih dipahami dan diterima oleh konteksnya. 

Pola-pola tradisi kejawen tetap menjadi bagian dalam hidup saya, hanya saja isi dan esensinya berbeda, yaitu berkiblat kepada Tuhan Yesus Kristus. Semakin kuat kiblat hidup kita kepada Tuhan Yesus, maka hikmat dan pengertian-Nya semakin mengalir kuat dalam kehidupan kita. Hanya oleh hikmat dan pengertian Tuhan Yesus, kita mampu melihat segala sesuatu dengan terang dan benar. 

Jika tertarik untuk memahami perihal kepercayaan kejawen dan kebatinan, pembaca bisa menilik cerita tentang “Dewa Ruci” yang cuplikannya ada dalam buku “Etika Jawa” karya Franz Magnis Suseno. Atau bisa juga membaca buku karya Pdt. Daniel K. Listijabudi yang berjudul, “Bergulat di Tepian.”