Berita GKMI

Melayani Sejauh Allah Memanggil

| Senin, 26 Februari 2024

Kita semua, sebagai pengikut Kristus, dipanggil untuk melayani. Pernyataan tersebut dapat kita temukan dalam Alkitab, seperti dalam Roma 12:11 yang menyatakan, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” Tidak peduli besar dan kecilnya, semua macam pelayanan yang kita lakukan berharga bagi Allah. Untuk melayani, tentu kita harus siap memberi diri menjadi persembahan yang hidup sebagai ibadah yang sejati (Rom. 12:1).

Nama saya Johana, salah satu pemudi dari GKMI Bogor. Saya adalah salah satu di antara tiga orang Indonesia yang mengikuti program Youth Anabaptist Mennonite Exchange Network (YAMEN) 2022/2023, yang diadakan oleh Global Service Learning (GSL). Program ini sudah tidak asing bagi kalangan jemaat Mennonite, yang memberi kesempatan bagi para pemuda/i gereja untuk melayani di negara yang berbeda-beda, selama sebelas bulan. Saya sendiri ditempatkan di Burkina Faso (Afrika Barat), salah satu negara termiskin di dunia.


Persiapan diri sebelum berangkat

Ketika mengetahui negara penempatan tersebut, saya merasa takut dan khawatir. Terlebih dengan pemberitaan di internet yang tidak menggambarkan keseluruhan Burkina Faso dengan akurat. Saya mulai meragukan kemampuan diri saya sendiri. Namun, saya teringat bahwa saya telah ditunjuk oleh Tuhan untuk melayani mereka, maka saya harus mempersembahkan diri saya sebagai persembahan yang hidup bagi-Nya. Keluarga saya pun mengingatkan saya akan Roma 12:3, “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”

Dengan iman yang dikuatkan dan mindset (pola pikir) yang diubah oleh Roh Kudus, saya berusaha mempersiapkan diri secara mental dan kemampuan agar mampu menghadapi kesulitan yang dapat diprediksi sebelum keberangkatan. Saya pun mengambil kelas bahasa Prancis selama empat bulan, karena bahasa nasional Burkina Faso adalah bahasa Prancis. Saya juga mengambil kesempatan dalam pelayanan di TK sebagai bentuk persiapan untuk melayani lebih lagi. Meskipun seringkali mempertanyakan kemampuan diri, saya tetap dimampukan oleh Allah Bapa yang selalu setia mendampingi saya. Ketika waktu keberangkatan tiba, saya menyerahkan pelayanan dan segala sesuatu yang mendampinginya ke dalam tangan Tuhan.


Masa penjajakan di Burkina Faso

Setelah melewati perjalanan selama dua hari, saya akhirnya sampai di tempat yang Tuhan tunjuk untuk saya, yaitu Burkina Faso. Tiga minggu pertama terasa menyenangkan. Banyak hal baru yang mata saya lihat, orang baru untuk menjalin persahabatan, dan suasana yang jauh berbeda dengan Tanah Air Indonesia. Perasaan takut dan khawatir sirna di minggu-minggu pertama. Dalam minggu-minggu pertama, saya pun tidak kesulitan untuk berkomunikasi. Kebanyakan orang yang saya temui berbicara dalam bahasa Inggris, seperti koordinator yang mengurus kedatangan saya dan kedua volunteer yang ditempatkan di Burkina Faso. Setelah orientasi pengenalan budaya dan sosial di negara tersebut, akhirnya saya pergi ke kota di mana saya akan melayani, yaitu Bobo-Dioulasso. Dalam sebelas bulan, saya harus tinggal di rumah host family, yang terdiri dari host dad dan host mom serta kedua anak mereka yang berumur 4 tahun dan 1 bulan.


Culture shock sempat membuat saya putus asa

Perasaan saya mulai campur aduk. Saya menjadi volunteer satu-satunya yang ditempatkan di kota tersebut. Sedikit demi sedikit, perbedaan yang mulai terlihat jelas membuat saya shock. Sekitar rumah host family saya tandus dengan pasir kemerahan yang asing di pandangan saya. Pohon hijau mulai saya rindukan keberadaannya. Saya harus tinggal bersama orang-orang baru, yang artinya saya harus beradaptasi dengan cara baru untuk hidup. 

Lokasi rumah yang harus saya tempati selama sebelas bulan jauh dari tengah kota, sehingga saya tidak mudah menemukan produk shampoo yang biasa saya pakai ketika di Indonesia. Kepala saya juga sering pusing karena berusaha memahami bahasa Prancis, yang menjadi satu-satunya bahasa komunikasi saya bersama orang-orang di sekitar saya. Tidak jarang telinga saya mendengar panggilan Tubabu (bahasa lokal, arti: orang kulit putih) atau Chinoise (bahasa Prancis, arti: orang Tiongkok) meskipun saya jelas-jelas orang Indonesia yang biasanya tidak menjadi pusat perhatian. Inilah permulaan saya merasakan culture shock, yang membuat saya merasa sangat putus asa.

Meskipun rasanya ingin menyendiri karena hal tersebut, saya mendorong diri untuk keluar dari kamar dan berbincang dengan host mom. Saya langsung memanggil namanya, Dénise, karena umur kami tidak sejauh ibu-anak. Mula-mula, menjalin hubungan dengan orang baru terasa sulit. Saya tidak tahu topik apa yang harus dibahas, apalagi candaan apa yang harus dilontarkan untuk meringankan suasana. Namun Tuhan itu baik, Ia memberikan host mom yang sabar dan sangat baik. Dénise sering memfasilitasi pembicaraan kami, dengan menceritakan pengalamannya. Perasaan putus asa dalam hati saya pun mulai terobati.

Kehadiran host mom dalam hidup saya saat itu mengingatkan saya bahwa sebagai saudara seiman, kita harus saling mengasihi dan menghormati (Rom. 12:10). Saya rasa itulah pelayanan Dénise dalam hidup saya selama sebelas bulan tinggal di rumahnya: menyatakan kasih melalui penghiburan ketika saya tidak baik-baik saja dan penerimaannya terhadap saya di rumahnya. Ketika saya mengalami culture shock, ia pun menasihati dan menolong saya untuk mempelajari budaya dan kebiasaan di Burkina Faso. Karena Dénise, saya belajar untuk mengasihi dan menghormati setiap orang yang akan saya layani sesuai dengan kebiasaan orang lokal (disebut Burkinabé). Saya pun merasa Tuhan yang mengizinkan saya untuk bertemu dengan host mom saya, agar dapat menguatkan saya ketika saya merasa kecil hati dan meragukan kemampuan diri sendiri.

Perbedaan budaya juga menjadi tantangan bagi saya untuk beradaptasi. Serupa namun tidak sama, itulah kalimat yang dapat menjelaskan perbandingan kebudayaan di Burkina Faso dan Indonesia. Saya menemukan beberapa persamaan, seperti pentingnya gotong royong dalam mempersiapkan acara, atau memulai small talk (basa-basi) ketika bertemu seseorang. Namun rasanya seperti berada di Indonesia pada tahun 70-an, di mana banyak kebiasaan terasa old school untuk saya yang terlahir setelah Reformasi Indonesia. Tidak jarang saya merasa cemas dengan bagaimana orang lokal melihat kebiasaan saya. Meskipun begitu, keluarga di Indonesia dan host family saya terus memberi semangat yang membuat saya merasa lebih siap beradaptasi di ladang pelayanan saya kala itu.


Pelayanan yang juga memberkati saya sendiri

Saya melayani di gereja L’Église Evangélique Mennonite Foi & Vie de Belle Ville Bobo sebagai Youth Educator Worker. Awalnya, saya sangat bingung dengan pelayanan apa yang harus saya lakukan untuk para pemuda di gereja tersebut. Namun Tuhan membimbing dan membuka jalan bagi saya, sehingga saya dapat memulai pelayanan dengan mengajarkan bahasa Inggris untuk para pemuda gereja. Banyak kesulitan yang saya temui, mulai dari terbatasnya kemampuan berbahasa Prancis, hingga sedikitnya murid yang ikut belajar. Seringkali saya tersandung oleh perasaan kecil hati. Saya berekspektasi terlalu tinggi sedari awal, sehingga saya mudah jatuh. 

Ketika merasa sedih, saya teringat oleh surat Paulus kepada jemaat di Korintus, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Kor. 10:13). Perasaan buruk yang seringkali saya alami ketika mengajar menjadi pencobaan bagi saya, namun saya yakin Allah akan menyertai saya melewati badai dalam hati saya. 

Sepuluh bulan berjalan dengan penyertaan Allah Bapa. Pada mulanya hanya mengajar bahasa Inggris, namun lambat laun saya mulai membenamkan diri ke dalam komunitas gereja saya di Bobo Dioulasso dengan berpartisipasi dalam kegiatan retret, pelayanan choir setiap hari minggu, penginjilan door-to-door, dan menambah kelas basic computer kepada para pemuda gereja. Kemampuan berbahasa Prancis saya juga jauh lebih baik dibanding sebelum saya ke Burkina Faso. Di minggu-minggu terakhir sebelum kepulangan, saya mengajarkan lagu “Yesus Pokok” untuk anak-anak Sekolah Minggu untuk ditampilkan di hari Minggu terakhir saya. Ketika saya harus pulang, hati saya bersedih karena harus meninggalkan komunitas yang menerima saya meskipun saya berbeda. 

Salah satu pengalaman paling berkesan yang saya alami adalah ketika diberi kesempatan untuk berlibur di Senegal bersama dengan koordinator dan kedua volunteer yang menjadi teman seperjuangan. Selama seminggu, kami pergi ke beberapa tempat wisata, bersantai di pinggir pantai, dan melihat hal-hal baru. Rasanya seperti mencuci mata, rehat dari pemandangan tandus yang sering saya lihat di Burkina Faso. Setelah saya pulang ke Indonesia, memori tentang liburan ke Senegal membuat saya ingin berlibur ke sana lagi.


Saya belajar banyak hal selepas dari pelayanan ini

Melalui pengalaman saya di Burkina Faso, saya belajar untuk menyerahkan segala sesuatunya dalam Tuhan Yesus. Kita perlu mempersiapkan diri untuk menjadi persembahan yang hidup sebagai ibadah yang sejati. Tentu tidak mudah, kita seringkali meragukan kemampuan diri, berkecil hati, takut, dan khawatir. Hal tersebut sangatlah wajar, toh kita hanyalah manusia yang terbatas. Namun Allah Bapa kita yang tidak terbatas, akan terus menolong dan memberikan kita pengharapan. Hanya pertolongan Tuhan sajalah yang mampu membimbing kita untuk mempersiapkan diri dalam pelayanan. Kita juga tidaklah sendirian, sebab Tuhan akan menganugerahkan orang-orang untuk memberi semangat di kala kita merasa tidak cukup. Saya bersyukur karena Tuhan mengirim saya ke Burkina Faso. Meskipun sulit, namun saya belajar arti penting dari menyerahkan segala aspek hidup saya ke dalam Yesus dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pelayanan.

Rencana saya selanjutnya adalah untuk menjalani hidup seperti semula. Saya kembali melayani di gereja saya, dengan membantu dalam bidang media, menjadi singer dalam ibadah umum, serta membantu mengembangkan persekutuan pemuda dan remaja. Banyak ketertinggalan yang harus saya kejar, seperti mencari pekerjaan baru dan mencari kehendak Allah dalam hidup saya. Tapi keyakinan saya hanya satu, Tuhan Yesus akan menolong saya untuk terus berjalan dalam jalan-Nya yang baik dan benar. Amin.