Berita GKMI

Waktu untuk Menemani Mereka yang Ditinggalkan

| Kamis, 01 Agustus 2024

Saya awalnya memilih Kambodia dan Ukraina untuk belajar dan berbagi. Namun, karena Kambodia penuh dengan volunter dan Ukraina sedang konflik, saya merasa tidak akan pergi ke mana pun. Tiba-tiba, bulan Juli 2023, saya mendapatkan kesempatan untuk melayani di Bolivia. Meskipun bahasa Spanyol bukan keahlian saya, saya menerima tantangan ini.


Pekerjaan di Bolivia

Saya melayani di suatu panti asuhan khusus anak-anak yang orang tuanya sedang dalam tahanan karena menjadi kartel narkoba, anak-anak jalanan dan anak-anak yang diselamatkan dari kekerasan di rumah tangga. Bulan-bulan pertama adalah bulan yang berat bagi saya terutama faktor bahasa. Ada masa saya berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa tubuh. Ada 3 kata ajaib yang saya gunakan “Si” (ya), “Puedo ayudarte” (ada yang bisa saya bantu), dan “Gracias”! (terima kasih) selama di awal-awal bulan. 

Sebulan pertama, saya sebenarnya tidak tahu apa yang saya kerjakan karena mereka tidak memberikan kepada kita jobdesk yang spesifik, jadi saya mencoba untuk membantu semuanya. Sebut saja saya mengatakan “ya” untuk semuanya. Namun di dalam proses tersebut, saya sangat menikmatinya. Saya mencoba membuat beberapa guyonan indonesia dalam bahasa spanyol dan menyadari ternyata saya bisa lucu juga di negara orang! Saya mulai berinteraksi dengan mereka menggunakan bahasa spanyol, terutama dengan anak-anak. Akhirnya bulan ke empat saya mulai mahir bahasa spanyol untuk percakapan sehari-hari. Teman terbaik saya yang juga volunter sana mengatakan kepada saya, “Adi! Bibi-bibi di panti asuhan sini sangat menyukai kamu! Kamu punya sense persahabatan!, bahkan kamu adalah volunter pertama yang dianggap seperti anak asuh sendiri hahaha!” dan dia melanjutkan, “Kamu mengubah mindset mereka tentang Asia karena kamu adalah orang Asia pertama yang datang ke tempat ini. Mereka mulai membicarakan hal baik tentang Indonesia,” dalam hati saya berpikir puji Tuhan saya engga malu-maluin.



Bulan-bulan terakhir saya mulai belajar bahasa spanyol yang tingkatannya sedikit lebih rumit, maka saya berencana membuat project melatih mereka untuk berani percaya diri, karena rata-rata anak disini belum punya cukup kemandirian dan kekuatan untuk bermimpi dan berani mengkomunikasikan ide mereka. Saya membantu mereka melatih skill tersebut dengan mengajari grafis desain. Saya juga membuatkan panti asuhan sistem inventaris barang-barang yang ada di talita cumi. Selain itu, hal-hal lain yang saya lakukan seharian adalah menemani mereka belajar, membaca, menulis dan bermain. 


Pertemanan sejati

Saya belajar banyak tentang arti pertemanan, terutama ketika saya sakit selama dua bulan terkena salmonella dan malaria di negara dunia ketiga. Meskipun saya mendapat jaminan asuransi kesehatan yang mengcover segalanya namun semuanya sangat baru, contoh obat-obat yang sangat banyak jumlahnya dengan nama merek yang asing. Kadang pertolongan datang bukan dari siapa yang kita anggap sebagai teman/sahabat, namun dari siapa yang menganggap kita sebagai teman. Orang yang saya kira tidak akan peduli malah adalah orang yang sangat peduli dengan saya, dan sebaliknya. Saya bersyukur ada teman-teman di Indonesia yang mau menemani saya semalaman suntuk dan mendengarkan saya menggerutu atau bercerita untuk menghalau kesepian. Namun tidak hanya itu, saya juga menemukan pertemanan sejati lintas budaya.



Ketika disana saya sempat sakit, saya tidaklah sendiri. Ada yang mengirimkan makanan, menjenguk, bahkan mengirimkan video ucapan cepat sembuh setiap dua hari! Sungguh menggembirakan mengetahui mereka sungguh peduli. Bahkan kami membuat bercanda internal yang sangat menguatkan saya sewaktu itu. Persahabatan saya dengan teman-teman yang menemani saya di kala sakit ini masih bertahan sampai sekarang, bahkan dua diantaranya berkata ingin ke Indonesia! Dari pengalaman ini sepertinya Tuhan ingin mengajarkan dan memperbarui konsep saya tentang waktu, “Habiskanlah waktu dengan orang-orang yang kamu sayangi dan yang sayang dengan kamu, yang selalu menantikan dan mendoakanmu!”


Perbedaan budaya yang menarik

Bahasa dan budaya menjadi hal yang sangat menantang, namun terciptakan beberapa hal lucu karenanya. Struktur bahasa Spanyol sangatlah berbeda dengan bahasa Indonesia. Saat saya mempersilahkan seseorang yang sedang mengantri di kamar mandi untuk masuk, seharusnya saya mengatakan, “¿Por fa si qieres banar? (Silahkan, apa anda ingin mandi?),” tetapi saya malah mengatakan, “¿Por fa si quieres que te bañe? (Silahkan, apa anda mau saya mandikan?)”. 

Ada hal lucu menarik lainnya. Jadi saya adalah keturunan jawa asli berkulit coklat sedikit terang, yang menarik adalah setiap orang Bolivia yang bertemu dengan saya, mereka berpikir bahwa saya adalah orang Jepang. Bahkan tidak jarang beberapa dari mereka mengajak saya foto bersama. 

Perbedaan budaya lainnya adalah pelukan dan berciuman pipi. Perkenalan seperti ini tidaklah biasa di Asia, terutama jika bertemu dengan orang yang tidak kita kenal dan dilakukan antara beda gender. Bagi orang Bolivia cipika-cipiki adalah hal yang biasa. Suatu kali saya berjabat tangan dan cipika-cipiki dengan orang tua yang paling dihormati di gereja, reflek saya setelah itu adalah mengusap pipi saya di depan banyak orang. Orang tua tersebut menganggap reflek saya sebagai tidak menghormati dia. Jadi sampai saya pulang ke Indonesia, hubungan kami tidak terlalu baik, namun lebih baik dari pada saat kami pertama kali bertemu. 

Badan kurus adalah hal yang wajar di Indonesia, bahkan banyak orang Indonesia ingin menjadi kurus. Namun di Bolivia saya menjadi target ‘diakonia’ mereka, “Kamu harus makan dengan kami!” Awalnya saya sedikit sensitif mengenai hal ini karena mereka berpikir saya dari negara berkembang yang defisit makanan, namun akhirnya saya menyerah dan mengatakan, “Oh saya mau! Saya bisa diajak makan kapan saja.” Lalu di bulan-bulan terakhir, setiap malam saya selalu makan besar. Sebagian besar makan steak terbaik di kota Santa Cruz. Terakhir soal makanan, saat saya makan nasi di pagi dan malam hari, mereka sangatlah terkejut. Dalam budaya mereka, nasi hanya untuk di siang hari, sedangkan pagi dan malam mereka makan roti dan buah. Alhasil saya menjadi tontonan mereka. 


Pelajaran berharga

Anak-anak panti asuhan yang saya asuh penuh dengan pattern-pattern trauma. Beberapa contohnya adalah sewaktu saya tidur bersama dengan mereka, seorang anak akan mengompol setiap jam 3 pagi dan menangis sesenggukan, karena dia selalu mengingat ketika ibunya dibunuh oleh ayahnya waktu dini hari. Juga terdapat seorang anak lain yang mempunyai ingatan yang sangat buruk karena orang tuanya sewaktu kecil mengandung dia di jalanan. Pada masa kehamilan, orang tuanya rutin meminum alkohol. Lalu ada seorang anak lain yang dibuang oleh orang tuanya karena ketidakmampuan ekonomi. Anak-anak ini mempunyai trust issue yang cukup tinggi. Ternyata saat saya mengajari mereka, bukan mereka yang mendapatkan banyak pelajaran, namun malah saya yang terberkati.

Berikut refleksi yang saya gumulkan dari buku Becoming Friends of Time, dalam menghadapi realitas di Bolivia, khususnya mengenai waktu. Waktu memiliki peran sentral dalam segala aktivitas manusia. Waktu memberikan struktur pada hari, menetapkan tujuan, membentuk impian, namun juga membatasi kehidupan. Meskipun terasa nyata dan progresif, waktu pada akhirnya terbukti bersifat ilusif. Bagi mereka yang memiliki disabilitas, waktu yang berubah-ubah dapat menjadi hal yang mematikan. Untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam masyarakat, seseorang diharuskan tunduk pada kecepatan jam, hidup secara tepat waktu, dan memiliki narasi biografi.

Meskipun demikian, Yesus datang ke dunia untuk mengubah pandangan tentang waktu. Yesus mengajak kita untuk melambat, mengambil waktu, dan memahami keunikan hidup dalam waktu Tuhan. Dia mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lembut, sabar, baik; untuk berjalan dengan lambat dan penuh perhatian dengan mereka yang sering ditinggalkan oleh masyarakat. Jadi merumuskan sebuah teologi tentang waktu yang membawa kita pada perspektif di mana waktu dianggap sebagai karunia dan panggilan. 

Waktu bukanlah sesuatu yang dapat diperdagangkan atau dikuasai. Waktu diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai karunia, tetapi juga sebagai karunia yang kembali diberikan oleh manusia kepada Tuhan. Memiliki potensi untuk mengubah cara kita memandang waktu, membantu kita memahami ritme berbuah dari waktu Tuhan, dan mengajarkan kita untuk hidup di luar batasan waktu yang diukur oleh jam.